Alkisah, dalam
sebuah kisah fiktif, konon kabarnya, seorang anak SD, terkantuk-kantuk di
mejanya menunggu bel pulang sekolah berdentang. Anak ini memiliki nilai
akademik terendah di kelasnya. Dan ketika bel pulang sekolah berdentang maka
langsung dengan semangat empat lima kantuknya hilang dan dengan gagahnya
bergegas keluar sekolah. Pulang ? Tidak. Langsung melangkah ke warnet dekat
sekolah. Dengan cekatan membuka sakunya dan dengan modal 4 ribu rupiah sudah
bisa berkuasa selama 1 jam terhadap akses internet. Dalam hitungan menit sang
anak sudah langsung tenggelam dalam peperangan game point blank online.
Ketika kita
begitu sibuk mempermasalahkan tentang perubahan kurikulum 2013 dan
membanding-bandingkan dengan beberapa kurikum sebelumnya. Ternyata di lapangan
para pelajar terutama pelajar SD sibuk dengan game onlinenya. Rupanya di
lapangan semua bentuk kurikulum sedang berhadapan dengan maraknya dunia hiburan
anak terutama game online. Begitu lihainya mereka memainkan peperangan di game
online sementara mereka tergagap mempelajari baca tulis dan hitung.
Dari ilustrasi
di atas tercermin bahwa permasalahan pendidikan terutama pendidikan dasar dan
menengah bukan hanya masalah kurikulum.
Secara kasat
mata dari unsur intern terlihat bahwa selain kurikulum, masalah yang membelit
dunia pendidikan dasar menengah adalah guru, anak didik, sarana prasarana dan
teritorial.
Guru memiliki
kesenjangan baik dari segi kualitas maupun kesejahteraan dan penyebaran. Dari
segi kualitas, akibat dari perguruan tinggi kependidikan berkualitas berada di
perkotaan maka proses dan produk perguruan tinggi kependidikan berupa sarjana
pendidikan sudah terlanjur akrab dengan suasana kehidupan perkotaan. Sehingga
untuk menjadi guru di pedesaan sangat tidak diminati. Akibatnya di pedesaan
kekurangan guru. Yang ada hanya beberapa guru dari PGSD atau PGA atau PGSLP
yang setelah menjadi guru mereka kuliah kembali pada perguruan tinggi terdekat
untuk mengambil gelar sarjana pendidikan, tak jarang atau sebagian besar justru
mengambil kuliah kelas jauh, artinya dosennya yang mendatangi mahasiswanya. Beberapa
lagi adalah guru honorer yang digaji dari dana BOS. Sebagian besar, atau hampir
semua fakultas kependidikan berada di perkotaan. Sedangkan sebagian besar
sekolah, terutama sekolah dasar dan menengah berada di pedesaan. Harus ada
rekayasa sistematis agar sarjana pendidikan berkualitas bersedia menjadi guru
di pedesaan. Pendirian fakultas kependidikan baru di pedesaan sudah sangat
merndesak. Program Guru Tidak Tetap untuk penempatan di pedesaan dgn gaji
setara CPNS masa 3 tahun sudah sangat mendesak. Beasiswa terhadap tamatan
terbaik SMU perkecamatan untuk menempuh pendidikan tinggi di fakultas
kependidikan dgn ikatan dinas kembali ke pedesaan sudah sangat mendesak. Atau
cara lain yang bisa menggerakkan sarjana pendidikan berkualitas untuk mengajar
di desa terpencil. Tamatan SMU terbaik setempat diberi beasiswa dan mengabdi di
daerah asalnya adalah solusi terbaik untuk saat ini. Sedangkan dari aspek kesejahteraan
sekarang sudah ada program sertifikasi guru yang mana guru bersertifikat akan
mendapatkan tunjangan sertifikasi guru 1 kali gaji. Hanya saja ujian untuk
mendapatkan sertifikasi guru ini berpola ujian berbasis kualitas maka sudah
barang tentu guru perkotaan yang mendominasi sertifikasi guru. Sehingga terjadi
kesenjangan kesejahteraan antara guru sertifikasi dan guru nonsertifikasi. Hal
ini harus diatasi dengan memperbaiki tunjangan guru nonsertifikasi sampai
tingkat yang layak.
Dari aspek anak didik.
Sebelum masuk sekolah SD, anak didik sudah terlebih dahulu mengikuti pendidikan
TK atau pendidikan anak usia dini. Di luaran mereka sudah mengenal game online.
Di televisi mereka sudah mengenal para pahlawan robot atau lainnya. Sehingga
ketika masuk SD mereka lebih mengenal power ranger daripada pahlawan nasional
yang hanya punya pedang dan bambu runcing. Menurut saya adalah tidak mungkin
untuk mengarahkan semua pelajar untuk mengikuti kurikulum pendidikan. Justru
seharusnya spesialisasi bakat dan minat yang ada dalam diri pelajar yang harus
difasilitasi. Seharusnya sekolah menengah kejuruan harus lebih banyak dari
sekolah menengah umum. Sekolah menengah kejuruan harus berdomisili di daerah
yang cocok dengan ilmu yang dipelajari. Sangat tidak cocok apabila sekolah
menengah pertanian atau sekolah menengah perikanan didirikan di perkotaan. Dan
yang lebih ekstrem lagi adalah perlu dipikirkan untuk mendirikan sekolah
kejuruan di tingkatan sekolah menengah pertama atau SMP kejuruan. Tamatan SMP
kejuruan sudah berumur rata-rata 15 tahun dan sudah bisa memasuki dunia kerja
dalam skala yang lebih terbatas. Satu hal lagi yang mendesak untuk dipikirkan
adalah fasilitas lebih yang harus diberikan kepada para siswa berprestasi di
bidang pendidikan. Para pelajar terbaik di tingkatan yang lebih kecil seperti pelajar
terbaik tingkat kelas dan tingkat sekolah harus diberi fasilitas apakah itu
dalam bentuk beasiswa atau lainnya. Bagi tamatan terbaik sekolah sudah perlu
dipikirkan untuk memberi fasilitas bebas testing untuk jurusan tertentu
terutama jurusan yang sangat dibutuhkan di pedesaan seperti keguruan dan
kebidanan.
Sarana prasarana
pendidikan sudah diatasi dengan program dana alokasi khusus yang alokasinya untuk
rehabilitasi gedung, buku, alat peraga, alat olah raga. Sedangkan dalam hal
kebutuhan administrasi SD dan SMP sudah diatasi dengan dana bantuan operasional
sekolah. Hanya saja di sana sini masih terjadi kelemahan terutama dalam hal
tender pengadaan sehingga muncul pemikiran agar semua barang di bidang pendidikan
dimasukkan saja ke dalam e-kataloque LKPP sehingga pengadaan barang bidang
pendidikan tidak perlu tender dan cukup memakai standar harga dan spesifikasi
dalam e-kataloque. Kalaupun masih harus tender maka seharusnya Kementrian
pendidikan mencantumkan kewajiban tender online/eproc dalam juknis penggunaan
dana DAK tersebut.
Masalah
teritorial masih menjadi masalah tersendiri. Fluktuasi jumlah murid terus
terjadi sementara jumlah ruang kelas dan guru tidak mengalami fluktuasi.
Sehingga ada kalanya pada tahun tertentu ruang kelas kurang akibat jumlah murid
yang melebihi kapasitas. Tapi di tahun yang lain mengalami kekurangan murid
akibat pertumbuhan penduduk yang tidak linear.
Kurikulum
menurut saya hanya satu bagian kecil dari masalah dunia pendidikan. Sebuah
kurikulum yang terbaik hanya bisa diterapkan dengan dukungan penuh anak didik,
guru dan sarana prasarana. Apa jadinya bila kurikulum dijalankan dalam ruangan
kelas yang hampir ambruk dan bocor dengan guru yang honornya sudah tidak
dibayar berbulan-bulan dan dengan anak didik yang lebih suka game online
daripada menimba ilmu ?
Masalah
pendidikan harus diselesaikan secara integral bukan parsial pada kurikulum
semata.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar