Di tengah duka saudara kita di Jogjakarta , mendadak
mereka dikagetkan secara sosiologis dan kultural tentang isu monarki. Dan
reaksipun beragam, mayoritas lebih mencintai Sultan daripada demokrasi yang
sama sekali asing bagi mereka.
Bagaimanapun juga kita harus arif
dan bijaksana, penghormatan terhadap kebhinneka tunggal ikaan harus
dilaksanakan oleh semua golongan, termasuk golongan elit.
Terkadang kita harus merenung
kembali ke masa lalu di masa awal kemerdekaan. Sesungguhnya negara ini
didirikan di saat krisis, bukan merupakan kesepakatan segenap rakyat untuk mendirikan
negara dan pemerintahan, tapi adalah inisiatif dari para elit golongan terdidik
yang pada umumnya sarjana didikan barat atau kebarat-baratan. Itupun harus
dengan lakon penculikan terlebih dahulu. Dan dengan pola yang sama kita
menjalankan negara ini, pola top down, seolah – olah semua manajemen kenegaraan
dengan segala peraturannya sudah sesuai dengan keinginan rakyat. Apa benar
semua sistem yang ada sekarang ini mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat
? benarkah rakyat mendukung demokrasi ? Benarkah rakyat mendukung reformasi
? Jangan – jangan rakyat ternyata lebih
menyukai monarki ? Bukankah penguasa nusantara masa lalu adalah para raja
dengan kerajaannya yang selalu kita bangga – banggakan dalam buku sejarah
perjuangan bangsa di sekolah – sekolah ??? Jangan – jangan rakyat ternyata
tidak menyukai reformasi ? Jangan – jangan rakyat lebih menyukai suasana orde
baru dengan stabilitasnya.
Negara modern dengan unsur
demokrasi merupakan hasil dari ketidakpuasan atas sistem ketatanegaraan masa
lalu yang dijalankan dengan pola kerajaan yang bila kita perdalam lagi
merupakan bagian dari imperium yang ada pada saat itu. Salah satu penyebab
runtuhnya dinasti kerajaan masa lalu adalah akibat rakyat ditelantarkan
sehingga rakyat mendukung gerakan perubahan pada masa itu. Apalagi pada masa
itu golongan terdidik kian tumbuh pesat dan berhasil menyaingi keterdidikan
kerajaan. Untuk kasus Indonesia ,
sesama kerajaan terlalu mudah untuk diadu domba oleh penjajah Belanda. Maka
lahirlah alternatif baru sistem ketatanegaraan yaitu negara modern dengan
demokrasinya. Pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.
Setelah berjalan beberapa puluh tahun,
untuk Indonesia
berjalan beberapa belas tahun, demokrasi mulai menebar kekecewaan. Demokrasi
ternyata tak kunjung memberi kesejahteraan. Justru negara mulai terancam ambruk
akibat semua sendi – sendi negara tergerogoti korupsi yang berujung pada pembiayaan
politik. Rakyat hanya dilibatkan sekali dalam lima tahun, itupun hanya demi seratus ribu,
bahkan ada yang kurang darinya.
Demokrasi ternyata tidak memberi
jawaban. Modernitas ketatanegaraan ternyata hanya fatamorgana. Jangan – jangan bibit
– bibit postmodernisme politik sudah mulai tumbuh, apalagi dipicu oleh isu
monarki Jogjakarta
? Kebosanan pada demokrasi politik terutama politik pilkada merupakan bom waktu
bagi tumbuh kembangnya postmodernisme politik demokrasi.
Rakyat sudah jenuh dengan demokrasi. Rakyat mulai melirik kembali ke
masa lalu. Masa di mana rakyat dipimpin oleh raja yang arif bijaksana secara
turun temurun. Beberapa kerajaan masa lalu yang masih eksis sampai saat ini
ternyata masih menyimpan suasana arif bijaksana tersebut. Kesultanan Jogja merupakan
icon sifat arif bijaksana yang terlihat secara kasat mata.
Lantas, akankah kita harus
kembali ke masa lalu, masa monarki ?
Bagaimanapun juga semuanya harus
kita kembalikan kepada rakyat. Pergulatan politik di tingkatan elit takkan pernah
bisa mewakili suara rakyat yang sebenarnya.
Bila kita memang sepakat bahwa
demokrasi masih bisa diselamatkan dan dipakai sebagai instrumen untuk
kesejahteraan rakyat, mari kita perbaiki semua aspek yang selama ini menjadi
biang kerok hitamnya wajah demokrasi. Rencana revisi UU otonomi daerah harus
bisa menghasilkan para pemimpin yang berasal dari kelompok putra terbaik.
Terutama kasus pilkada harus segera dibenahi. Pilkada merupakan wajah terdepan
demokrasi karena bersentuhan langsung dengan rakyat. Revisi UU otonomi daerah
harus mensyaratkan keberhasilan para putra terbaik bangsa untuk menjadi
pemimpin dengan segala mekanisme yang sudah banyak diusulkan oleh elemen
masyarakat pecinta demokrasi dan otonomi daerah.
Bila tidak maka jangan salahkan
rakyat apabila mereka secara kompak meminta untuk kembali ke pemerintahan masa
lalu, yaitu monarki.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
11 Desember 2010.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar