Harga BBM sudah naik lagi. Banyak
yang marah, sebagian dari perspektif ekonomi karena akan menyebabkan harga
kebutuhan pokok akan naik membubung tinggi, sebagian lagi dari perspektif
politik karena menjelang pemilu di mana bantuan langsung tunai dianggap sebagai
cara pintas untuk mengambil hati masyarakat.
Saya sendiri melihat bahwa harga
minyak dunia yang membubung tinggi melebihi 120 dollar berbarrel yang menjadi
penyebab utama pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM dalam negeri bukan
alasan yang kuat untuk memperberat kehidupan rakyat. Dengan menaikkan harga
jual BBM di dalam negeri membuktikan bahwa kreatifitas di tingkatan menteri
sendiri sudah lenyap. Dari segi kreatifitas politik terlihat betapa komunikasi
politik tidak menunjukkan hasil sama sekali. Opini politik memposisikan
pemerintah pada penilaian negatif, harga naik, ongkos transpor naik, semua
naik, program BLT hanya pemborosan dan tidak mendidik. Opini negatif ini hampir
tidak berimbang sama sekali dengan beberapa program positif dari kompensasi kenaikan
BBM tersebut. Program pemberdayaan masyarakat dianggap hanya memperkaya segelintir
elit desa saja. Program pendidikan dan kesehatan gratis dianggap hanya janji –
janji belaka tanpa bukti di lapangan. Opini negatif pada BLT sebenarnya bisa
diimbangi dengan memperbesar opini positif pada bidang kesehatan seperti
program puskesmas 24 jam atau program 1 dokter perdesa, dan di bidang
pendidikan dengan program beasiswa untuk para siswa berprestasi.
Saya sendiri melihat kabinet yang
dipenuhi oleh para professor dan doktor ini bukannya tidak mampu melahirkan
program – program yang kreatif sebagai kompensasi kenaikan BBM tersebut.
Kreatifitas yang mereka miliki menjadi beku akibat ketidakefisienan birokrasi
yang mereka pimpin. Dan tidak mudah untuk mendobrak ketidakefisienan ini karena
minimnya penghargaan terhadap kreatifitas terutama di level bawahan. SDM di
tingkat bawahan terdegradasi kreatifitasnya akibat lingkungan birokrasi yang cenderung
merusak apa yang baik menjadi tidak baik.
Saya melihat bahwa memang subsidi
untuk BBM sudah bukan waktunya lagi untuk diberikan. Dulu, hasil ekspor BBM
mentah melebihi biaya impor BBM siap pakai. Selisih antara biaya ekspor dan impor
ini menjadi sumber untuk mensubsidi harga BBM dalam negeri. Sekarang sudah
terbalik. Sudah waktunya subsidi BBM dicabut saja tapi bukan dengan cara yang
drastis. Subsidi ini bisa dicabut pelan – pelan, misalnya dengan menaikkan
harga BBM sebanyak Rp. 100 perbulan. Atau bila lebih sabar lagi cukup Rp. 50
perbulan. Kenaikan pelan pelan ini takkan memicu kenaikan harga kebutuhan pokok
masyarakat juga takkan memancing para spekulan untuk menimbun BBM juga takkan
menjadi objek politik.
Di layar TV saya melihat salah
seorang mantan demonstran 98 marah – marah menuding pemerintah tidak kreatif,
kenapa bukan pajak kenderaan saja yang dinaikkan. Ya, memang. Pengelolaan
sumber pajak kita memang belum maksimal. Yang kalau dikelola dengan baik
sebenarnya lebih dari cukup untuk mensubsidi BBM bila kita masih ingin
mensubsidi terus. Kunci dari maksimalisasi pendapatan negara dari pajak adalah
“apa umpannya”. Umpan ini penting. Dan di mana – mana yang namanya umpan pasti
gratis. Umpan yang tidak gratis adalah hal yang sangat menggelikan, jauh lebih
menggelikan dari acara lawakan TV. Ada
dua umpan yang sangat efektif untuk memancing data objek pajak. Yang pertama
adalah KTP gratis 100 %, termasuk foto. Yang kedua adalah setifikat tanah dan
bangunan gratis, termasuk fotokopinya. Buruknya administrasi kependudukan
menyebabkan tidak maksimalnya pengelolaan objek pajak. Data kependudukan yang
ada kebanyakan masih manual dan masyarakat mengurus KTP hanya bila ada
keperluan. Sudah waktunya dikembangkan sistem informasi manajemen kependudukan
berbasis elektronik sehingga data kependudukan yang ada di kecamatan dan
kabupaten bisa diakses oleh pengelola pajak. Dan sudah waktunya pelajar SMP
untuk diwajibkan memiliki KTP gratis dan NPWP gratis. Setelah memiliki data
kependudukan maka langkah selanjutnya adalah sertifikasi tanah dan bangunan
gratis. Sesuatu yang gratis akan sangat menarik bagi masyarakat terutama di
pedesaan. Banyak tanah dan bangunan masyarakat yang tidak disertifikatkan.
Sertifikat ini baru diurus apabila tanah dan bangunan tersebut akan dijual.
Apalagi para konglomerat tingkat desa dan kabupaten tersebut ternyata tidak
memiliki kesadaran tentang pajak. Dan yang lebih menggelikan lagi ternyata banyak
yang tidak mengetahui total luas tanah yang dimilikinya. Apabila data base
kependudukan dan objek pajak berupa tanah dan bangunan ini sudah dimiliki maka
selanjutnya tinggal melakukan razia objek pajak mana yang belum membayar pajak.
Pajak kenderaan tidak pernah tidak dibayar karena ada razia dari aparat
keamanan. Sementara objek pajak berupa tanah dan bangunan tidak pernah dirazia.
Satu lagi kreatifitas yang
terlupakan terkait kenaikan harga BBM ini adalah kurangnya pengkondisian akan
arti penting diversifikasi sumber energi. Pemerintah pusat dalam beberapa
kesempatan selalu menekankan pentingnya pengembangan sumber energi terbarukan
di hadapan para petinggi pemerintah daerah dan sayang sekali pemerintah pusat
menyerahkan sepenuhnya pengembangan energi terbarukan tersebut kepada
pemerintah daerah tanpa pengkondisian sama sekali padahal potensi energi
terbarukan (panas matahari, listrik mikro hidro, angin, ombak, air terjun, dan
lain sebagainya) ada di daerah. Sementara itu pemerintah daerah lebih suka
menghabiskan anggarannya untuk membangun infrastruktur. Selain karena kapasitas
SDM yang tidak punya visi energi, hal ini dikarenakan proyek infrastruktur “hasilnya”
lebih jelas. Dan tahun selanjutnya proyek infrastruktur ini tetap dibutuhkan
karena proyek yang dikerjakan tahun sebelumnya ternyata sudah harus
direhabilitasi akibat kualitas pengerjaan yang amburadul.
Bagaimana cara efektif untuk
memancing gairah pemerintah daerah dalam mengembangkan sumber energi terbarukan
tersebut ?
Salah satu cara adalah dengan
menempatkan penganggaran pengembangan sumber energi terbarukan tersebut pada
pos dana alokasi khusus APBN yang dialokasikan ke daerah. Pemerintah daerah
memiliki kecenderungan untuk mengejar penambahan anggaran untuk daerahnya
dengan mengejar sumber dana alokasi khusus APBN. Kecenderungan ini adalah
peluang besar yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sumber energi
terbarukan tersebut oleh para pemerintah daerah. Dan untuk menjaga kualitas
pekerjaan maka harus ditetapkan bahwa konsultan perencana dan pengawasnya adalah
yang ditunjuk langsung oleh departemen terkait atau lembaga penelitian
perguruan tinggi di daerahnya. Dalam banyak hal, otonomi yang menyerahkan
sepenuhnya urusan daerah kepada pemerintah daerah apabila dilakukan tanpa pensiasatan
dan pengkondisian maka otonomi akan bergerak tidak sejalan dengan arah gerakan
dari pemerintah pusat, termasuk dalam kebijakan energi yang sering
dikumandangkan dalam berbagai kesempatan.
Akibat dari kenaikan BBM ini
pikiran saya berkembang kemana – mana. Pikiran terburuk saya adalah apabila
ternyata sumber energi fosil ini sudah habis terkuras dari perut bumi sementara
pengembangan sumber energi bukan fosil ternyata belum maksimal. Kita mungkin
bisa mengandalkan energi nuklir atau solar sel namun itu akan sangat mahal bagi
sebagian besar masyarakat kelas bawah. Mungkin kita akan kembali ke zaman
pedati dan naik kuda.
BBMku BBMmu BBM kita juga.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
24 mei 2008
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar