Sebagai konsekuensi dari
keberadaan UU guru dan dosen maka seluruh guru dan dosen wajib memiliki
sertifikasi profesi keguruan. Akibatnya, di mana – mana para guru yang belum
memiliki pendidikan strata 1 beramai – ramai mengadakan kuliah jarak jauh. Dan
beberapa di antara mereka malah mengikuti perkuliahan di luar disiplin ilmu
keguruan dan kependidikan. Seolah – olah kalau sudah memiliki tingkat
pendidikan strata 1 maka akan bisa mendapatkan sertifikasi profesi keguruan
tersebut. Dan ternyata sertifikat profesi keguruan tersebut harus menjalani
ujian. Dan ujiannya pada umumnya dilaksanakan di ibukota propinsi sehingga para
guru dari daerah harus mengeluarkan biaya transportasi dan penginapan untuk
mengikuti ujian sertifikasi profesi keguruan tersebut. Hal ini sangat tidak
efektif dan efisien terutama dari segi biaya dan waktu. Perlu ditekankan bahwa
para guru, apalagi bagi yang sudah sepuh, tidak perlu memaksakan diri untuk
memperoleh sertifikat profesi keguruan tersebut. Walaupun UU guru dan dosen
menjanjikan 1 kali lipat gaji bila mendapat sertifikat profesi keguruan
tersebut namun pada poin lain juga dijanjikan bahwa selain tunjangan profesi
tersebut juga ada tunjangan kesejahteraan guru yang juga 1 kali lipat gaji. Dan
untuk menghemat pembiayaan dalam rangka mengikuti ujian sertifikasi profesi
keguruan tersebut sebaiknya ujian tersebut dilaksanakan di masing – masing
kabupaten dengan memanggil para pihak yang berkompeten dalam proses sertitikasi
tersebut ke kabupaten. Mengenai pembiayaan bisa dialokasikan pada APBD masing
masing kabupaten. Dengan demikian maka selain penghematan biaya dari peserta
sertifikasi juga para guru akan lebih percaya diri apabila ujian dilaksanakan
di kandangnya sendiri.
Sertifikasi keahlian pengadaan
barang / jasa pemerintah diamanahkan oleh Keputusan Presiden RI nomor 80 tahun
2003 tentang pedoman pengadaan barang / jasa instansi pemerintah pasal 52 ayat
1 yang mewajibkan pengguna barang / jasa (kepala dinas, pimpro) dan panitia
pengadaan / lelang / tender untuk wajib bersertifikat keahlian pengadaan barang
/ jasa paling lambat 1 januari 2006. Dan mengingat jumlah PNS yang lulus
sertifikasi tersebut ternyata belum mencukupi baik secara nasional maupun
perdaerah maka oleh Peraturan Presiden RI nomor 8 tahun 2006 pasal II ayat 1, 2
dan 3 memperpanjang pewajiban sertifikasi keahlian pengadaan barang /jasa
tersebut paling lambat 1 Januari 2007 dan untuk sementara para pengguna
anggaran dan panitia pengadaan / lelang / tender hanya wajib memiliki
sertifikat pelatihan pengadaan barang / jasa pemerintah. Dan ternyata mengingat
jumlah PNS yang lulus sertifikasi tersebut jumlahnya belum mencukupi juga,
walau sistem ujiannya sudah dipermudah dengan memperbolehkan buka buku keppres
80 dan tidak ada nilai minus, maka oleh Kementrian PPN / Kepala Bappenas pada
tahun ini mengeluarkan surat edaran tentang memperpanjang pewajiban sertifikasi
keahlian pengadaan barang / jasa pemerintah tersebut mulai 1 Januari 2009 dan untuk
untuk sementara para pengguna anggaran dan panitia pengadaan / lelang / tender
boleh memakai sertifikat pelatihan pengadaan barang / jasa pemerintah. Kenapa
jumlah PNS yang lulus sertifikasi keahlian tersebut jumlahnya tak pernah
mencukupi baik secara nasional maupun perdaerah ? Apakah hal ini dikarenakan
kualitas yang tidak sebagaimana yang diharapkan ? Memang ada faktor kualitas
yang mempengaruhi, namun saya sendiri melihat faktor utama adalah kesempatan
yang tidak ada untuk mengikuti ujian sertifikasi keahlian dikarenakan ujian
pada umumnya hanya dilakasanakan oleh pemerintah propinsi dan bertempat di
ibukota propinsi. Hal ini akan memberi konsekuensi biaya transportasi dan
penginapan bagi peserta dari daerah untuk mengikuti ujian sertifikasi tersebut.
Pada beberapa pemerintah kabupaten yang telah memiliki SDM bersertifikat
keahlian yang mencukupi dikarenakan pemerintah kabupaten tersebut melaksanakan
sendiri ujian sertifikasi tersebut dan mengalokasikan anggaran ujian
sertifikasi tersebut pada APBDnya. Maka agar target pemberlakuan sertifikasi
keahlian pengadaan barang / jasa tersebut bisa terpenuhi mulai 1 januari 2009
maka pemerintah pusat (sebaiknya oleh Menteri Dalam Negeri) mewajibkan
pengalokasian anggaran untuk ujian sertifikasi tersebut pada APBD Perubahan TA
2008 dan seterusnya setiap tahun diwajibkan pengalokasian anggaran tersebut
pada APBD masing - masing. Dan untuk menjaga kewibawaan dari pemerintah pusat
dalam pewajiban sertifikasi keahlian pengadaan barang / jasa tersebut maka
pengunduran waktu pewajiban tersebut pada 1 januari 2009 jangan diperpanjang
lagi. Dan bagi pemerintah kabupaten / kota
/ propinsi yang belum memiliki SDM yang mencukupi yang bersertifikat keahlian
maka bagi mereka diwajibkan menjalani pelelangan / tender secara elektronik
saja dengan bantuan teknis dari pemerintah propinsi atau pemerintah pusat /
departemen. Bagi para PNS yang telah bersertifikat keahlian juga lebih
cenderung untuk menjalankan pelelangan elektronik karena pelelangan manual yang
selama ini dijalankan tidak pernah memberi jaminan keamanan yang memadai kepada
para panitia lelang akibat kontak langsung antara panitia lelang dengan peserta
lelang memberikan efek negatif dalam berbagai bentuknya, terutama dari segi
keamanan.
Dan mengenai sertifikasi
keterampilan dan keahlian kerja konstruksi mengingatkan kita pada proses
jatuhnya almarhum SS di jalan berlubang sepanjang 7 meter terseret di lobang
jalan tersebut. Dan kematian akibat jalan rusak sebenarnya jumlahnya sangat banyak,
kematian alm SS hanyalah puncak gunung es dari kegagalan otonomi di bidang
infrastruktur. Pada berbagai kesempatan lembaga – lembaga di bidang jasa
konstruksi sering memberitakan bahwa tenaga ahli dan tenaga trampil di bidang
konstruksi yang telah bersertifikat keterampilan dan keahlian kerja jumlahnya
tidak lebih dari 20 %. Artinya lebih dari 80 % belum menjalani proses
sertifikasi. Walaupun proses sertifikasi tersebut belum menjamin kualitas
pengerjaan konstruksi namun secara normatif kualitas SDM jasa konstruksi harus
tercermin secara administratif dalam selembar sertifikat keterampilan dan
keahlian kerja konstruksi. Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan para
pengusaha jasa konstruksi kategori kecil (gred 1 – 4) dapat diperoleh informasi
bahwa hambatan sertifikasi keterampilan dan keahlian tersebut adalah biaya. Sertifikasi
pada umumnya hanya bisa dilakukan di ibukota propinsi sehingga sudah pasti
mengeluarkan biaya transportasi dan penginapan selain dari biaya sertifikasi
itu sendiri. Maka timbul pemikiran kenapa proses dan lembaga sertifikasi
keterampilan dan keahlian kerja tersebut tidak diletakkan di kabupaten saja.
Banyak lembaga yang memenuhi syarat untuk mengelola proses sertifikasi
tersebut. Berdasarkan Peraturan LPJK (lembaga pengembangan jasa konstruksi)
bahwa pengelola sertifikasi tersebut bisa dari asosiasi profesi terakreditasi
dan bisa dari lembaga diklat terakreditasi. Di kabupaten bisa didirikan lembaga
asosiasi profesi baik itu berbasis profesi kerja maupun profesi kesarjanaan
seperti Persatuan Insinyur Indonesia
cabang kabupaten. Atau dengan mendirikan lembaga diklat terakreditasi di
kabupaten baik itu berbasis perguruan tinggi, pendidikan menengah seperti
sekolah menengah kejuruan teknis ataupun mendirikan struktur pemerintahan
berbentuk balai latihan kerja di bawah dinas tenaga kerja. Dan bila perlu semua
lulusan sekolah menengah kejuruan teknik diberikan sertifikasi keterampilan
gratis oleh dinas pendidikan setempat. Dan juga yang perlu ditekankan adalah
pendefenisian kembali jenis pekerjaan konstruksi sederhana dan komplek jangan
dari besaran dananya yang apabila nilai proyek di bawah 1 milyar dianggap
pekerjaan sederhana sehingga cukup dikerjakan oleh perusahaaan yang memiliki
tenaga konstruksi bersertifikat keterampilan yang hanya tamatan SMK sederajat
dan apabila nilai proyek di atas 1 milyar harus dikerjakan oleh perusahaan
bertenaga konstruksi bersertifikat keahlian yang tamatan sarjana teknik. Jenis
pekerjaan konstruksi sederhana dan komplek harus dipilah dari jenis
pengerjaannya dan resiko kegagalan bangunan terhadap keselamatan pemakainya.
Bila kegagalan bangunan tidak mengancam keselamatan manusia maka bisa
dikategorikan sebagai pekerjaan konstruksi sederhana dan apabila kegagalan
bangunan tersebut bisa mengancam keselamatan manusia maka bisa dikategorikan
sebagai pekerjaan komplek. Pekerjaan konstruksi bangunan gedung dan jalan umum
sudah harus dikategorikan sebagai jenis pekerjaan konstruksi komplek sehingga
harus dikerjakan oleh perusahaan bertenaga konstruksi bersertifikat keahlian
tamatan sarjana teknik.
Sertifikasi yang memiliki tujuan
mulia yaitu untuk menandai kompetensi dan kemampuan dalam bidang tertentu dan
dituangkan secara administrasi dalam bentuk sertifikat jangan sampai dipandang
sebagai beban ekonomi dan bukan bersifat formalitas belaka dan juga bukan
sebagai salah satu instrumen penambah kesemrawutan birokrasi pemerintahan pusat
dan daerah. Sertifikasi harus mewakili standarisasi dan kualitas SDM dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
24 mei 2008
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar