Untuk ketiga kalinya KPK
menjalani seleksi calon pimpinannya. Dan ini bertepatan dengan momentum kasus MN
yang menyerang KPK.
Kenapa KPK dibentuk ? Kenapa
harus memakai istilah pemberantasan korupsi ? Benarkah korupsi bisa diberantas
?
Coba kita melihat ke sisi lain.
Katakanlah seorang PNS tidak
korupsi, tentu dia tidak akan punya uang banyak. Berapakah persentase pejabat
birokrasi bisa menjalani mobilitas vertikal tanpa melibatkan uang ? Bila
seorang PNS yang tidak korupsi dan ternyata karirnya malah macet karena tidak
punya modal yang mencukupi untuk meraih jabatan, apakah akan ada yang
bertanggungjawab mengenai masa depan hidup keluarganya ?
Katakanlah seorang politisi dalam
menghadapi pemilu tidak mengumpulkan pundi – pundi sebagai modal mencari
dukungan suara. Berapa persenkah keberhasilan memenangkan pemilu tanpa
melibatkan uang ? Siapakah yang akan bertanggungjawab apabila ternyata dia
kalah akibat ketiadaan modal dalam pemilu tersebut ?
Katakanlah sebagai seorang
pengusaha, mencoba memenangkan tender proyek pemerintah. Berapa persenkah
peluangnya untuk menang tanpa melibatkan uang ? Seandainya proyek bisa diraih
dan dalam perjalanan proyek tersebut tidak melakukan “bagi untung” akankah
perjalanan proyeknya akan mulus-mulus saja atau akan menghadapi hambatan ?
Dan yang paling penting, berapa besar
tingkat kesalahan dalam menjadikan uang sebagai pelumas roda birokrasi ?
Banyak kondisi di lapangan yang
menunjukkan bahwa pihak yang tidak mengikuti arus korupsi ternyata akan menjadi
pihak yang kalah dan terkalahkan. Kondisi ini menyebabkan korupsi menjadi
sebuah keharusan.
KPK dibentuk sebagai salah satu
upaya memberantas korupsi.
Katakanlah dalam beberapa kasus,
KPK menangkap dan memvonis seorang kepala daerah tertentu dengan hukuman
penjara sekian tahun. Apakah dengan demikian maka para pejabat di instansi
daerah tersebut akan berhenti melakukan tindakan korupsi ?
Ternyata tidak. Korupsi jalan
terus. Mati satu tumbuh seribu.
Lantas apa yang salah, jangan –
jangan pembentukan KPK adalah merupakan kesalahan ?
Saya sendiri melihat bahwa
apabila metode gerakan KPK masih seperti sekarang ini maka keberadaan KPK
adalah sebuah kesalahan dan hanya menjadi ajang pemborosan anggaran dan
tontonan menarik di media elektronik. Kesalahan dikarenakan keberadaannya tidak
memberikan hasil sebagaimana tujuan pembentukannya.
Tidak ada jalan lain, KPK harus
terus menerus melakukan introspeksi diri dan autokritik. Saya sendiri
sebenarnya mendambakan kepanjangan dari KPK adalah Komisi Pencegahan Korupsi. Setiap
kali media elektronik menayangkan pemberitaan yang melibatkan KPK, saya selalu
membayangkan akan ada berita atau diskusi atau apapun namanya yang membahas
tentang konsep pencegahan yang bisa dilahirkan pasca penindakan korupsi. Sayup
– sayup sebenarnya diskusi ke arah itu sudah mulai muncul, namun selalu saja
isu pencegahan tersebut kalah asyik dan kalah heroik dengan isu penindakan
korupsi.
Namunpun demikian, konsep
pencegahan korupsi sebagai salah satu hasil dari penindakan korupsi merupakan alternatif
penting untuk dicoba dan dieksperimenkan. Perlu dibentuk kelembagaan Badan
Pengkajian Pencegahan Korupsi di bawah KPK yang tugasnya menyusun konsep
pencegahan korupsi pasca penindakan sebuah kasus korupsi.
Momentum kasus bang GT sudah
terlewatkan padahal momentum tersebut memberi harapan untuk melakukan
pembenahan terhadap direktorat jenderal pajak. Kini kita mendapat momentum
kasus MN dan ada harapan untuk menata ulang pola hubungan antara politik,
bisnis proyek dan anggaran negara.
Dalam istilah kesehatan ada
semboyan : “Mencegah lebih baik daripada mengobati”.
Mudah – mudahan KPK bisa
melahirkan semboyan baru : “Mencegah korupsi lebih baik daripada menindak
korupsi”
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
26 agustus 2011.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar