Pasca terjadinya skandal kuota daging impor,
semakin meneguhkan bahwa 2013 merupakan tahun politik sekaligus tahun korupsi
politik.
Satu hal yang menggelisahkan adalah dimana
orang-orang baik di politik sudah ikut-ikutan memahami bahwa pesta politik 2014
bila tanpa melibatkan uang banyak hanya akan menempatkan diri menjadi pecundang
politik. Kenyataan menunjukkan bahwa pesta pemilu dan pemilukada sudah
menempatkan uang sebagai parameter paling utama untuk menjadi pemenang. Persentase
kemenangan nurani hampir mendekati nol persen. Bahkan untuk menempati posisi
penting dalam rangka mencapai tujuan idealis justru harus menempuh jalan hitam.
Semua kajian politik menempatkan uang sebagai daya tarik utama untuk memenangkan
pertarungan politik, terutama politik 2014. Dalam kerangka inilah skandal kuota
impor daging menjadi sebuah puncak gunung es di mana politik uang sebagai
sesuatu yang “benci tapi rindu”.
Bila memang ada yang harus disalahkan, siapakah
yang harus disalahkan ? Sistemkah ? Politisikah ? Birokrasikah ? Pengusahakah ?
Atau rakyat ?
Saya sendiri walau tidak sanggup untuk menyalahkan
rakyat, namun sudah mulai mempertanyakan komitmen dari rakyat itu sendiri yang
membiarkan dan hanya menonton orang-orang baik yang secara sadar dan terpaksa
harus menceburkan diri ke dalam hitamnya politik uang. Jargon bahwa “ambil
uangnya, pilihan tetap sesuai hati nurani” hampir tidak terealisasi di
lapangan. Banyak SDM berkualitas ternyata harus gigit jari baik itu pada pemilu
maupun pemilukada.
Namun, ada sebuah pemikiran nyeleneh, di mana bahwa
politik uang akankah bisa dikalahkan dengan politik uang juga tapi dengan cara
yang sah dan legal. Bahwa pemilih hanya peduli pada uang dan tak peduli pada
figur.
Bagaimana kalau politik uang didanai saja oleh
negara melalui APBN ?
Dengan asumsi bahwa jumlah pemilih sekitar 180 juta
jiwa, dengan asumsi politik uang oleh negara untuk rakyat pemilih sebesar Rp.
300 ribu perorang dengan kewajiban pemilih harus memilih dengan hati nurani dan
memilih yang terbaik, dan tidak memilih politisi busuk dan hitam. Statusnya bisa
sebagai Bantuan Langsung Tunai Kontra Politik Uang yang dibagikan persis pada
saat pencoblosan berlangsung. Maka akan menghabiskan dana sekitar 54 trilyun. Pemilih
dipersilahkan mengambil saja semua tawaran uang dari mana saja berasal dan Rp.
300 ribu dari negara merupakan kontra politik terhadap politik uang.
Bantuan Langsung Tunai Kontra Politik Uang bisa
menjadi alternatif yang mudah-mudahan merupakan cara untuk menggolkan semua
orang baik di negeri ini untuk terpilih duduk sebagai wakil rakyat di semua
tingkatan maupun untuk menjadi presiden. Sedangkan untuk pemilukada wajib dibiayai
dari APBD untuk menjadi kontra perhadap politik uang pemilukada.
Perlu pengkajian mendalam terhadap hal ini.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar