Beberapa hari ini energi
pikiran kita dikuras oleh polemik aliran dana nonbudgeter salah satu departemen
atas pengakuan mantan menterinya. Seperti alunan lagu Bengawan Solo : “air
mengalir sampai jauh……..” walaupun menterinya sendiri sudah menjelaskan bahwa
aliran dana nonbudgeter ke para politisi tidak lebih dari 10 % namun
pemberitaan yang gencar malah pemberitaan aliran dana yang kurang dari 10 %
tersebut. Sekarang aroma politik sudah terlalu dominan, segalanya dipolitikkan.
Bahkan mungkin pilihan warna keramik kamar mandipun akan dimaknai secara
politik.
Ada apa dengan dana
nonbudgeter ? Apakah rasanya berbeda dengan kolak serabi ?
Teman saya yang aktif di
salah satu kelompok studi pernah memberikan autokritik pada saya bahwasanya
yang menopang administrasi negara ini tetap berjalan sampai saat ini salah
satunya adalah dana nonbudgeter. Tanpa dana nonbudgeter maka administrasi
negara ini sudah tumbang akibat rapuh dan SDM pemerintahan akan kurang gizi.
Bila kita gali lebih jauh,
awal mula lahirnya dana nonbudgeter adalah akibat dari adanya pembiayaan
nonbudgeter, artinya ada dan banyak pos pengeluaran dalam menjalankan
administrasi pemerintahan ini yang tak teranggarkan. Dan ini terbagi 2 (dua)
kategori :
1.
Tak teranggarkan
karena anggarannya tidak cukup.
2.
Tak teranggarkan karena tidak boleh
dianggarkan dan tidak ada kode anggarannya.
Pada kategori yang pertama, anggaran tidak cukup, ini terkait
dengan sebuah perencanaan anggaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan ini
bisa karena prediksi kebutuhan yang tidak tepat, kesembronoan dalam penyusunan
anggaran atau karena kualitas perencana anggaran yang di bawah standar.
Misalnya, anggaran untuk pengadaan kertas dalam setahun ternyata habis dalam
waktu 1 triwulan. Jelas, tak mungkin pemerintahan harus berhenti hanya karena
ketiadaan kertas. Dan juga tak mungkin harus menunggu proses Perubahan
APBN/APBD hanya untuk mengusulkan tambahan anggaran untuk pengadaan kertas.
Mulailah sang bendahara berusaha agar kertas bisa diadakan dengan dana
nonbudgeter dari berbagai sumber.
Pada kategori kedua, tak
bisa dianggarkan, sementara pengeluarannya ril di lapangan. Di sini sebenarnya
ada banyak pengeluaran yang bersifat positif, seperti sumbangan kegiatan
kemasyarakatan, konsumsi dan akomodasi tamu, bantuan sosial, dan lain
sebagainya. Walaupun bersifat positif tapi kegiatan yang seperti ini tidak bisa
dianggarkan dalam APBN/APBD sehingga sang bendahara harus berusaha keras untuk
mengadakan dana nonbudgeter dari berbagai pihak, baik yang bersifat ikhlas,
yang ada maksud terselubungnya ataupun yang merasa terpaksa.
Pada kategori kedua, tak
teranggarkan, karena pengeluaran tersebut penuh dengan muatan politis, tidak
akan saya bahas, karena saya pribadi belakangan ini sedang alergi politik.
Dari penjelasan di atas,
titik tolak dari kelahiran dana nonbudgeter adalah akibat adanya pengeluaran
nonbudgeter. Dan dari titik tolak ini ada beberapa hal yang perlu diperbaiki :
Selektifitas Bendahara : sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi
bendahara masih merupakan impian banyak PNS karena dianggap sakral dan basah.
Tidak ada parameter yang terukur dan standar dalam pemilihan seorang PNS untuk
menjadi bendahara. Biasanya diambil dari yang memiliki pangkat golongan II
(tamatan SMA sederajat). Kualitas seorang bendahara sangat menentukan dalam
melakukan prediksi kebutuhan dan keakuratan penyusunan anggaran, terutama
anggaran rutin pegawai. Sebagaimana proses sertifikasi keahlian pengadaan
barang/jasa yang diwajibkan kepada para pimpro dan pengguna anggaran lainnya,
maka bagi seorang bendahara perlu dilakukan proses sertifikasi keahlian
bendahara di mana materi seleksinya bisa diambil dari UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, PP tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Permendagri
nomor 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sertifikasi ini
diperlukan untuk menseleksi dan mendorong para PNS terbaik untuk menjadi
pengelola keuangan negara/daerah
sehingga pengeluaran nonbudgeter bisa dieliminir.
Mengakomodir kelebihan
pengeluaran anggaran dalam bentuk anggaran defisit : ini dilakukan untuk pos
anggaran rutin yang sering terjadi dalam menjalankan administrasi pemerintahan.
Dan dalam proses pengadaannya bisa dilakukan dengan berhutang pada pihak ketiga
dan pembayarannya dilakukan pada tahun anggaran selanjutnya. Pendefisitan ini
tentunya akan dipertanggungjawabkan bendahara dan pimpinnya dengan menjelaskan
untuk apa saja pengeluaran nonbudgeter tersebut dan bagaimana tingkat
kerealistisannya.
Penyempurnaan mata anggaran : jenis pengeluaran yang ril di
lapangan tapi tidak ada mata anggarannya sebaiknya dilegalkan dan dimasukkan
dalam mata anggaran APBN/APBD sehingga pengeluaran nonbudgeter bisa dieliminir.
Perbaikan kesejahteraan PNS
: penghasilan lain yang sah dalam bentuk mata anggaran belanja pegawai selain
gaji bagi para PNS sebaiknya dilekatkan langsung dalam gaji PNS dengan menambah
jenis tunjangan seperti : tunjangan transportasi, tunjangan lauk pauk,
tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan lain sebagainya. Sudah bukan
rahasia lagi, dana nonbudgeter kelas teri seperti kutipan dalam pengurusan KTP,
ijin usaha di daerah, dan lainnya dilakukan akibat gaji PNS rendahan yang tidak
memadai.
Aplikasi Teknologi dalam
pengurusan anggaran : seringkali para pengelola anggaran terutama di daerah
harus pergi ke Jakarta hanya untuk mengurus anggaran daerahnya. Entah apanya
yang harus diurus saya sendiri kurang faham. Mungkin istilah percaloan anggaran
ada dalam kategori ini. Dengan pemanfaatan teknologi informasi maka para pengelola
keuangan daerah tidak perlu lagi ke Jakarta, cukup lewat internet maka
segalanya sudah terselesaikan. Semoga program integrasi program antar lembaga
pemerintah via e-government yang dicanangkan Menkominfo bisa dimanfaatkan untuk
memperpendek jarak dan waktu komunikasi pengurusan anggaran.
Subsidi politik : menyangkut aliran dana nonbudgeter salah satu
departemen yang mengalir ke berbagai pihak politik pada pilpres 2004 yang lalu,
saya melihat bahwa ada beberapa pembiayaan politik yang bisa disubsidi oleh
pemerintah pusat/daerah ataupun dengan kesediaan BUMN/swasta dalam pemenuhan
subsidi tersebut. Di antaranya subsidi iklan kampanye, subsidi transportasi
kampanye antar daerah, subsidi iklan kampanye di media massa, peminjaman aset
negara/daerah seperti sound sistem dan lainnya. Berbagai subsidi ini tidak akan
merugikan negara/BUMN/swasta. Yang terjadi hanyalah berkurangnya penghasilan
negara/BUMN/swasta akibat subsidi politik tersebut. Pensubsidian yang dimaksud
adalah dengan menggratiskan pembiayaan politik tersebut oleh pihak yang
menyediakannya. Misalnya penayangan iklan politik di TV digratiskan, ongkos
pesawat untuk kampanye ke daerah lain digratiskan, pinjam sound sistem digratiskan, dan lain sebagainya.
7. Mengembalikan konsistensi
para partai reformis : banyak pihak yang kecewa melihat bahwa para reformis dan
partainya kebagian dana nonbudgeter salah satu departemen. Pengakuan beberapa
reformis tidak akan pernah mengobati kekecewaan para pendukung reformasi. Ini
bisa menjadi titik tolak untuk menggugah kembali konsistensi para partai
reformis. Kekecewaan ini paling banyak terjadi di daerah di mana pada banyak
pilkada, calon kepala daerah yang terpilih menjadi kepala daerah masih
membutuhkan biaya politik yang cukup tinggi, termasuk untuk pembiayaan yang
harus dikeluarkan kepada para partai reformis. Bisa jadi partai reformis sudah
kehilangan kereformisannya atau para elit partainya tidak linear dengan misi
partainya yang reformis.
Saya sendiri mengakui autokritik yang dilontarkan teman saya yang
aktifis lembaga studi yang saya kutip di awal tadi, bahwa dana nonbudgeter
adalah salah satu penopang tetap berjalannya administrasi negara ini. Bahkan
korupsi sendiri masih menjadi penopang tetap berjalannya administrasi negara
ini. Seandainya pada detik ini korupsi dalam berbagai bentuknya dihentikan
serentak maka seluruh PNS yang berpenghasilan menengah ke bawah akan
memberhentikan anak – anaknya dari bangku kuliah karena tidak mampu lagi
membiayai pendidikan tinggi anak – anaknya. Dan autokritik ini bukan berarti
sebagai pembenaran untuk melestarikan pengadaan dana nonbudgeter tapi sebagai
cambuk bagi kita untuk membenahi kembali benang kusut kenegaraan yang sudah
sedemikian semrawut ini. Tokoh reformis yang ikut terkena noda dana nonbudgeter
membuktikan bahwa kesalahan tersebut adalah kesalahan sistemik, yang hanya akan
bisa dibenahi secara sistemik pula.
Salam Reformasi.
Rahmad Daulay
31 mei 2007
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar