Birokrasi pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah mengenal mekanisme pengendalian intern yang dikenal dengan
aparat pengawasan intern. Pada pemerintahan daerah dikenal dengan nama
Inspektorat. Pada pemerintah pusat / kementrian dikenal dengan nama Inspektorat
Jenderal. Di luar struktur pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang saat ini lebih difokuskan untuk
mengaudit BUMN. Dan satu lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melakukan
audit rutin pada pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah sesuai dengan
amanat UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK.
Namun, walaupun instansi auditor
jumlahnya banyak dan sering terjadi audit berlapis tapi ternyata masih sering
terjadi kasus – kasus pidana maupun perdata yang ditangani oleh penegak hukum
(kejaksaan dan kepolisian) padahal pada kasus yang sama sebelumnya sudah
dilakukan audit oleh instansi pengawasan / audit intern. Terlepas dari objek
kasus maka memang ada perbedaan metode pemeriksaan dan dasar hukum dalam
pemeriksaan pejabat pusat ataupun pejabat daerah sehingga hasil
pemeriksannyapun berbeda.
Tentu perbedaan metode, dasar
hukum dan hasil pemeriksaan ini tidak akan efektif dalam mendukung roda mesin
birokrasi pusat dan daerah, baik dari segi waktu, biaya dan konsentrasi dalam
melaksanakan tugas sebagai pelayan masayarakat.
Secara umum bahwa penyimpangan
yang dilakukan oleh aparat birokrasi terbagi dalam 3 bagian besar yaitu :
penyimpangan administrasi, penyimpangan perdata dan penyimpangan pidana.
Apabila pemeriksaan dilakukan
oleh aparat pengawasan intern maka hasilnya cenderung mengarah pada tindakan
administratif dan perdata. Apabila pemeriksaan dilakukan oleh aparat penegak
hukum maka hasilnya cenderung mengarah pada tindakan pidana.
Apabila pelaku korupsi diperiksa
oleh aparat pengawasan intern maka sering hasilnya dibelokkan ke arah kesalahan
administratif atau perdata. Namun sisi positifnya adalah apabila kesalahan
tersebut memang murni kesalahan administratif atau perdata maka objek
terperiksa tidak akan mengalami pidanaisasi kasus ataupun kriminalisasi.
Apabila pelaku korupsi diperiksa
oleh aparat penegak hukum maka apabila pemeriksaan berlangsung objektif maka kesalahan
yang ditimpakan akan mengarah ke pidana. Namun apabila objek terperiksa
sebenarnya hanya melakukan kesalahan administratif atau perdata akibat dari
keterbatasan kemampuan atau ketidaksesuaian antara tugas dan kapasitasnya
ataupun faktor keterbatasan lainnya maka objek terperiksa akan mengalami pressure
yang tidak ringan akibat dari pemeriksaan yang cenderung pidana oriented.
Oleh karena itu perlu kiranya kesalahan
– kesalahan yang terjadi didudukkan pada porsinya sesuai dengan tingkat
kesalahannya. Jangan sampai terjadi mempidanakan administrasi ataupun
mengadministrasikan pidana.
Dari segi dasar hukum perlu
dilakukan pengkajian kembali keterkaitan antar seluruh dasar hukum tentang
penegakan hukum dan mekanisme kerja pemerintahan. Seluruh peraturan yang tumpang
tindih ataupun yang kontradiksi agar dibenahi kembali.
Dari segi kelembagaan, perlu
dilakukan perkuatan, efisiensi dan pemberdayaan. Jangan sampai objek terperiksa
justru jauh lebih pintar dari sang pemeriksanya. Bila perlu Inspektorat,
Inspektorat Jenderal, BPKP dilebur saja ke dalam BPK dan BPK dibentuk di daerah
dengan mempergunakan sarana prasarana eks inspektorat. Dan BPK dijadikan
sebagai pintu pertama terhadap pemeriksaan aparat birokrasi dan saringan
pertama tentang tingkatan kesalahan : administrasi, perdata dan pidana. Apabila
kesalahan administratif diberi sangsi administratif sesuai Peraturan Pemerintah
nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin PNS. Apabila kesalahan perdata bisa
dilimpahkan ke pengadilan tata usaha negara. Apabila kesalahan pidana bisa
dilimpahkan ke kejaksaan / kepolisian.
Dengan demikian maka sinyalemen
bahwa gerakan penegakan hukum justru membuat macet birokrasi bisa dibantah. Dan
bisa dilakukan pembedaan mana loyang mana besi. Saya yakin dan percaya bahwa
masih banyak aparat birokrasi yang bisa mengemban amanah reformasi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
10 nopember 2010.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar