Otonomi daerah banyak memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan daerah dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan takyat. Salah satu kewenangan yang diberikan melalui
perangkat hukum yang bernama Peraturan Daerah.
Tapi dalam penerapannya banyak
terjadi produk hukum peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan yang
di atasnya. Dan ini sedang ditertibkan oleh Kementrian Dalam Negeri.
Yang akan saya soroti adalah
banyaknya terjadi mubazzirisme dalam penerbitan peraturan daerah.
Apabila peraturan daerah
diterbitkan, sudah barang tentu peraturan daerah akan berbeda antar daerah. Karena
peraturan daerah lahir untuk mengakomodir muatan lokal yang khas dan hanya ada
pada daerah itu sendiri atau ada pada sedikit jumlah daerah. Yang jadi masalah
adalah ternyata banyak peraturan daerah dilahirkan oleh banyak pemerintah
daerah ternyata mengatur tentang hal yang sama dan isinya ternyata hampir sama
di semua peraturan daerah. Hal ini bisa dilihat seperti dicontohkan pada
peratutan daerah tentang penerbitan ijin usaha jasa konstruksi (IUJK) dan
penerbitan ijin usaha perdagangan (SIUP) yang hampir semua peraturan daerahnya
mengatur tentang hal yang sama, paling – paling berbeda pada bagian besaran
nilai retribusi yang akan disetor ke kas daerah.
Di samping mubazzirisme peraturan
daerah dalam bentuk kemiripan antar daerah, ada juga mubazzirisme dalam bentuk
pengaturan masalah yang tidak selevel dengan peraturan daerah tersebut. Seperti
misalnya peraturan daerah tentang larangan merokok di sekolah dan peraturan
daerah tentang larangan memakai HP di sekolah. Peraturan daerah seperti ini
cukup melalui peraturan kepala sekolah atau paling tinggi peraturan kepala
dinas pendidikan, tak perlu melalui peraturan daerah.
Mubazzirisme peraturan daerah ini
terjadi akibat dari otonomi daerah yang kebablasan yang mana proses pemilihan
pejabat daerahnya nyaris tanpa pola alias pola suka – suka yang menyebabkan
misalnya pemilihan seorang kepala bagian hukum atau kepala biro hukum yang asal
– asalan dan menyebabkan terjadinya mubazzirisme peraturan daerah.
Harus diingat bahwa untuk
menerbitkan sebuah peraturan daerah membutuhkan tenaga, waktu dan dana yang
tidak sedikit. Mulai dari pengkonsepan oleh instansi pengusul, eksaminasi oleh
kepala bagian hukum / kepala biro hukum, pengusulan ke DPRD, rapat internal
komisi hukum DPRD, dikembalikan ke pemerintah daerah apabila ada kekurangan dan
rapat paripurna pengesahan peraturan daerah.
Untuk itu perlu kiranya pembenahan
kembali tata kelola penerbitan peraturan daerah. Diperlukan seorang kepala
bagian hukum / kepala biro hukum yang handal dan berkualitas agar produk hukum
yang diterbitkan juga berkualitas. Perlu juga pengaturan di tingkat menteri di
mana bila memang tidak perlu ditindaklanjuti dengan peraturan daerah agar
dinyatakan secara tertulis pada peraturan di tingkat menteri tersebut.
Peraturan di tingkat menteri dibuat selengkap mungkin untuk tidak perlu
pengaturan tambahan di tingkat daerah.
Terlalu banyak mengurusi dan
melahirkan peraturan akan berakibat pada berkurangnya waktu untuk melaksanakan
peraturan tersebut.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
3 september 2010.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar