Ditinjau dari segi peraturan UU Jasa Konstruksi, maka amblasnya jalan
tersebut termasuk kategori kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan bisa
disebabkan oleh kesalahan penyedia jasa konstruksi (konsultan perencana
konstruksi, pelaksana / pembangun konstruksi ataupun konsultan pengawas
konstruksi) ataupun pengguna jasa konstruksi (instansi pemerintah yang
membidangi konstruksi). Ataupun malah tidak ada pihak yang disalahkan
karena diakibatkan oleh kondisi alam dan lingkungan. Pihak yang diberi hak
untuk menentukan siapa yang salah adalah tim penilai ahli. Masa pertanggungan
kegagalan bangunan ditentukan oleh konsultan perencana konstruksi dan
seharusnya diatur jelas di dalam kontrsk konstruksi.
Penjelasan pada UU Jasa
Konstruksi tersebut masih sangat bersifat umum. Peraturan yang lebih rendah
yaitu PP no 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi ataupun
Peraturan Menteri PU no 43 tahun 2007 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan
Jasa Konstruksi juga masih sangat bersifat umum. Yang dibutuhkan adalah sebuah
pengaturan detil bagaimana menyikapi sebuah kejadian kegagalan bangunan
sebagaimana halnya amblasnya jl RE Martadinata. Perlu kiranya pihak terkait
terutama Kementrian PU dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional
menyusun sebuah Standar Operasi dan Prosedur (SOP) Penanganan Kegagalan
Bangunan untuk bisa diterapkan seara praktis baik di pusat dan daerah. Pada
pemberitaan di media elektronik terlihat jelas Kementrian PU telah menerjunkan
tim penilai ahli untuk meneliti sebab amblasnya jl RE Martadinata. Namun bila
kita lihat di pemerintahan daerah, begitu terjadi kegagalan bangunan yang jadi
sasaran hukum langsung adalah kepala dinas PU, pimpro, panitia lelang dan
pengawas lapangan, sementara konsultan perencana, konsultan pengawas maupun
pelaksana pembangunan konstruksi jarang menjadi sasaran hukum. Bahkan tidak ada
niat untuk menghadirkan tim penilai ahli. Hal ini jelas menimbulkan ketidak
adilan dan ketimpangan penegakan hukum yang berujung pada takutnya para PNS
daerah untuk menangani proyek konstruksi.
Di samping itu, perlu juga
dilakukan standarisasi perencanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi. Perencanaan dan pengawasan konstruksi oleh
konsultan konstruksi tanpa standar yang jelas akan berdampak pada kualitas
pengerjaan pembangunan konstruksi. Dan di daerah juga harus ditetapkan sebanyak
mungkin tim penilai ahli yang diberi kewenangan untuk menentukan pihak mana yang
bersalah dalam kasus kegagalan bangunan.
Kembali ke kasus amblasnya jl RE Martadinata Jakarta. Para pakar banyak
menyinggung penyebabnya adalah air laut. Artinya faktor lingkungan menjadi
penyebab utama. Sudah saatnya semua konsultan perencana konstruksi dan
konsultan pengawas konstruksi harus memiliki tenaga ahli lingkungan
bersertifikat ahli, terutama untuk proyek rawan lingkungan seperti di Jakarta.
Mudah-mudahan amblasnya jalan tersebut menjadi titik awal pengkajian
kembali betapa standar teknis bukan termasuk ranah otonomi daerah. Standar
teknis harus ditentukan secara terpusat.
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
22 september 2010.
* *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar