Ketika pertama kali berkenalan
dengan UU nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pasal paling menarik
adalah pasal tentang kegagalan bangunan dan pembinaan.
Dimulai dari kegagalan bangunan.
Sepintas istilah ini berbau istilah kesehatan, menyerupai istilah gagal ginjal,
gagal jantung, gagal fungsi. Entah kenapa memakai istilah kegagalan bangunan,
kenapa bukan kehancuran bangunan yang tentunya akan lebih mudah dicerna oleh
pikiran kaum awam.
Kejadian paling mutakhir tentang
kegagalan bangunan adalah amblasnya Jl Martadinata Jakarta dan jebolnya
Bendungan Situ Gintung. Ada beberapa komentar yang mempertanyakan kenapa tidak
ada satupun pejabat terkait yang dinyatakan bersalah padahal sekilas telah
terjadi kerugian negara, padahal pada beberapa kasus konstruksi di daerah
ternyata hanya dengan jalan baru yang berlobang sedikit saja yang kemudian
diadukan oleh pihak pemerhati sosial kepada penegak hukum ternyata sanggup
membuat babak belur dinas terkait di pemerintahan daerah, bahkan di antaranya
ada yang masuk penjara.
Tentunya sebagai pusat dari
segalanya maka pemerintah pusat yang berdomisili di Jakarta memiliki tingkat kesadaran hukum yang
lebih tinggi dibanding dengan pemerintah daerah. Sehingga dalam menyikapi suatu
permasalahan mereka lebih matang dan dewasa serta lebih objektif. Amblasnya Jl
Martadinata Jakarta disikapi dengan menerapkan UU Jasa Konstruksi di mana
kegagalan bangunan kesalahannya ditentukan oleh Tim Penilai Ahli yang akan
menentukan pihak mana yang bersalah, apakah pihak konsultan perencana,
konsultan pengawas, pelaksana konstruksi/kontraktor, pemilik pekerjaan
(instansi pemerintah terkait) atau faktor lain seperti faktor alam misalnya. Dalam
hal ini Tim Penilai Ahli menyatakan bahwa faktor alam (air laut) menjadi
penyebab ambalsnya Jl. Martadinata Jakarta sehingga semua pihak tidak ada yang
disalahkan apalagi dihukum penjara.
Bagaimana dengan jebolnya Situ
Gintung ? Masalah ini juga disikapi secara UU Jasa Kostruksi di mana Situ
Gintung sudah lepas dari masa pertanggungan kegagalan bangunan sehingga tidak
ada satu pihakpun yang dinyatakan bersalah.
Berbeda dengan kondisi di daerah,
di samping kualitas SDM yang nauzubillah, tingkat kesadaran hukumnya juga
rendah. Sehingga apabila terjadi kasus kegagalan bangunan baik dalam skala
kecil maupun besar, selalu disikapi dengan peraturan pidana dan selalu pihak
dinas terkait (kepala dinas, pimpro, panitia tender, bendahara) yang selalu
menjadi korban kejamnya penegakan hukum salah kaprah.
Atas semua ini, siapa yang harus
disalahkan ? Pemerintahkah ? Penegak hukumkah ? Kontraktorkah ?
Kita semua berkontribusi dalam kesemrawutan
ini. Kita semua bertanggung jawab terhadap penyelesaian hal ini.
Dari manakah memulainya ?
Bagaimanapun juga UU Jasa
Konstruksi sudah sedemikian bagus. Permasalahannya adalah UU ini belum mendarah
daging di beberapa pihak. Untuk ini maka pihak-pihak yang bersentuhan langsung
dengan jasa konstruksi dan permasalahannya harus menjalani terapi khusus dalam
artian pembinaan dan internalisasi harus dilakukan. Dimulai dari pembinaan
terhadap pejabat instansi konstruksi seperti dinas PU, asosiasi pengusaha
konstruksi, asosiasi tenaga ahli/trampil konstruksi dan penegak hukum.
Pada prakteknya, mereka lebih
familier dengan Keputusan Presiden nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman
pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang sekarang telah digantikan
oleh Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah. Atas dasar pemikiran tersebut maka pada beberapa kali forum workshop
penyusunan rancangan Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tersebut saya
mengusulkan pencantuman pasal kegagalan bangunan di dalamnya yang ternyata
tidak terakomodir.
Bagaimanapun juga UU Konstruksi
yang diterjemahkan salah satunya dengan Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun
2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang telah mengalami satu kali
perubahan yang di dalamnya mengatur tentang kegagalan bangunan masih bersifat
sangat umum. Untuk itu tentunya perlu penterjemahan yang lebih jauh dan rinci
tentang tata cara pelaksanaan dan penerapan peraturan kegagalan bangunan baik
itu di tingkat peraturan presiden ataupun peraturan di tingkat menteri untuk
kemudian disosialisasikan dan diwajibkan untuk diterapkan di semua intansi
pemerintahan terutama di pemerintahan daerah. Dan untuk menjamin penerapannya
maka seharusnya BPK ditugaskan untuk memeriksa penerapannya pada saat audit
rutin.
Selain kegagalan bangunan, maka
hal menarik dalam UU Jasa Konstruksi satunya lagi adalah tentang pembinaan jasa
konstruksi.
Pembinaan jasa konstuksi pada
pihak penyedia jasa konstruksi dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK) yang keanggotaannya terdiri dari unsur pemerintah, asosiasi jasa
konstruksi, asosiasi tenaga ahli/trampil konstruksi dan perguruan tinggi. LPJK
memiliki struktur di pusat dan di daerah tapi hanya sampai tingkat propinsi
saja, tidak ada di kabupaten/kota. Dengan struktur seperti ini tentu
keterbatasan rentang kendali ke kabupaten/kota akan mengakibatkan kurangnya
pembinaan terhadap kontraktor dan konsultan di kabupaten/kota yang tentunya
akan berdampak pada kualitas hasil pekerjaan konstruksi. Maka dari itu perlu
kiranya dipikirkan kembali untuk membentuk struktur LPJK di tingkat
kabupaten/kota.
Pembinaan jasa konstruksi untuk
intern pemerintahan dijalankan oleh Tim Pembina Jasa Konstruksi (TPJK). Keberadaan
TPJK ini berdasarkan Surat Edaran Mendagri tahun 2006 yang kalau menurut saya
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi yang menyatakan
menteri/gubernur/bupati/walikota menunjuk unit kerja untuk melaksanakan
pembinaan jasa konstruksi. Saya mengartikannya bahwa ada unit kerja yang khusus
melaksanakan pembinaan jasa konstruksi, bukan dalam bentuk TPJK yang merupakan
kumpulan pimpinan instansi yang pada prakteknya tidak pernah menjalankan tugas
pembinaan jasa konstruksi. Untuk itu maka Surat Edaran tentang pembentukan TPJK
harus direvisi dan diluruskan kembali sesuai dengan amanah PP nomor 30 tahun
2000 tersebut. Departemen PU sendiri membentuk Badan Pembina Konstruksi sebagai
pelaksana pembinaan jasa konstruksi di tingkat pusat. Pada beberapa pemerintah
daerah memang telah membentuk struktur/unit kerja pembina jasa konstruksi, baik
itu yang berdiri sendiri atau menempel pada dinas PU. Namun sebagian besar
pemerintah daerah hanya membentuk TPJK dan tidak pernah beraktifitas.
Penerapan UU Jasa Konstruksi
harus merupakan prioritas dalam perumusan program dan kegiatan APBN/APBD tahun
anggaran 2012 di bidang jasa konstruksi.
UU Jasa Konstruksi pada tahun ini
telah berumur 12 tahun. Maka pada tahun 2012 harus menjadi tahun emas
pelaksanaan penerapan UU Jasa Konstruksi terutama tentang penerapan kegagalan
bangunan dan pembinaan jasa konstruksi.
Jangan sampai tahun 2012 yang
pada saat itu UU Jasa Konstruksi berumur 13 tahun menjadi tahun celaka sesuai
dengan konotasi angka 13.
Selamat ulang tahun ke-12 UU Jasa
Konstruksi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
1 Oktober 2011.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar