Tanpa terasa UU nomor 18 tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi telah berumur 10 tahun pada 7 mei yang lalu. Sebuah
umur yang kalau dihitung secara politik telah melalui 2 periode pemilu atau
pilkada. Dan hampir sama tuanya dengan reformasi.
Pertanyaan pertama yang
menggelisahkan batin saya adalah berapa banyakkah atau berapa sedikitkah para
pelaku jasa konstruksi, mulai dari birokrat jasa konstruksi (kepala dinas,
pejabat pembuat komitmen / pimpro, panitia lelang), perusahaan pelaksana jasa
konstruksi, perusahaan konsultan jasa konstruksi, tenaga ahli konstruksi,
tenaga trampil konstruksi dan yang tak kalah pentingnya adalah penegak hukum,
yang sudah kenal dan paham tentang UU Jasa Konstruksi tersebut ?
UU Jasa Konstruksi memang kalah
keren dibanding dengan Keppres nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah. Juga kalah keren dibanding dengan Permendagri
nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tapi yang
harus diingat adalah pengadaan barang / jasa pemerintah dan pemakaian anggaran
negara / daerah didominasi oleh proyek jasa konstruksi, mulai dari bidang
sipil, bidang arsitektur, bidang tata lingkungan, bidang mekanikal dan bidang
elektrikal.
Kenapa UU Jasa Konstruksi yang
begitu mulia ternyata tidak teraplikasi dengan baik di lapangan ?
Banyak analisa yang berkembang
tentang hal ini. Namun saya melihat penyebabnya adalah tidak adanya konsistensi
antara UU Jasa Konstruksi dengan peraturan turunannya. Sebagai contoh : UU Jasa
Konstruksi pasal 35 mengatur tentang pembinaan jasa konstruksi, diatur lagi
dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Pembinaan Jasa Konstruksi pasal 13 menyatakan bahwa menteri / gubernur / bupati
/ walikota menunjuk unit kerja untuk melaksanakan pembinaan jasa konstruksi.
Yang oleh Menteri Dalam Negeri lewat surat nomor 601 / 476 / SJ tanggal 13
maret 2006 menyatakan bahwa pembinaan jasa konstruksi dilaksanakan oleh unit
kerja pembina jasa konstruksi yang terdiri dari para pejabat dari instansi yang
membidangi pembinaan jasa konstruski. Saya melihat bahwa spirit yang dibawa
oleh UU Jasa Konstruksi dan PP no 30 / 2000 adalah adanya unit kerja khusus
yang membidangi pembinaan jasa konstruksi sebagaimana halnya BPKSDM (Badan
Pembinaan Konstruksi dan SDM) yang ada di Departemen PU, bukan seperti spirit
yang dibawa oleh Menteri Dalam Negeri lewat surat edaranya pada surat nomor 601
/ 476 / SJ tanggal 13 maret 2006 yang mengarah pada pembentukan tim pembina
jasa konstruksi di daerah yang mana pada prakteknya tim tersebut tidak pernah
berfungsi dengan baik. Perlu diatur lebih jauh untuk mewajibkan pemerintah
daerah membentuk struktur seperti BPKSDM Departemen PU agar pembinaan jasa
konstruksi bisa berjalan dengan baik.
Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah pada pasal 8, 9 dan 10 UU Jasa Konstruksi yang mengatur
tentang persyaratan usaha, keahlian dan keterampilan. Mayoritas tenaga ahli dan
tenaga trampil konstruksi berada di daerah kabupaten. Sementara lembaga
sertifikasi keahlian dan keterampilan konstruksi berada di perkotaan ibu kota propinsi. Ini
menyebabkan sebagian besar tenaga ahi dan tenaga trampil konstruksi belum
menjalani sertifikasi. Kesenjangan ini perlu diperbaiki dengan percepatan
akreditasi bagi lembaga diklat di daerah kabupaten agar bisa melakukan
sertifikasi keahlian dan keterampilan konstruksi. Lembaga seperti BLK, SMK
teknik dan lembaga kursus teknik swasta bisa jadi wadah sertifikasi keahlian
dan keterampilan kerja konstruksi di daerah kabupaten.
Sampai saat ini turunan terendah
dari UU Jasa Konstruksi adalah Peraturan Menteri PU nomor 43 tahun 2007 tentang
Standar dan Pedoman Pelaksanan Jasa Konstruksi. Satu hal yang terpenting dari peraturan
ini dan bisa menjawab carut marutnya kualitas insfrastruktur daerah adalah
konsep tentang kegagalan bangunan. Konsep ini hampir tidak pernah dijalankan di
daerah. Di samping memang penyebab kegagalan bangunan merupakan masalah yang
sangat komplek, juga secara konsep dia masih sangat terlalu umum sehingga masih
harus dikembangkan dan diterjemahkan lagi secara khusus dan operasional. Proyek
yang tak beres pengerjaannya dan kualitasnya yang rendah seharusnya bisa
diselesaikan dengan konsep kegagalan bangunan berikut sangsi – sangsi yang
menyertainya.
Masih diperlukan banyak aturan
operasional di tingkat menteri dan beberapa standarisasi teknik jasa konstruksi
dan ini harus terus dikembangkan secara nasional.
Selamat ulang tahun UU Jasa Konstruksi.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
24 September 2009
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar