Kemendikbud akhirnya
memutuskan bentuk integrasi UN dan SNMPTN di mana SNMPTN ujian tertulis dihapus
dan diganti dengan jalur undangan dengan berbasis nilai UN dan nilai raport
semester III, IV, V.
Sangat disayangkan
apabila kebijakan penting ini tak diberi kesempatan uji publik untuk
penyempurnaannya. Walaupun begitu mari kita kritisi untuk kemajuan pendidikan..
Pertanyaan yang
muncul adalah bagaimana tingkat kejujuran guru dan kepala sekolah dalam memberi
penilaian murid pada raport semester III, IV dan V ?
Akan terjadi masalah
baru di mana pihak-pihak tertentu akan berusaha mempengaruhi nilai raport
semester III, IV dan V tersebut. Hal ini sudah terjadi pada jalur PMDK di mana
pengaturan nilai raport dilakukan untuk menggolkan murid tertentu, bahkan tak
jarang diwarnai uang. Bahkan ada murid pintar yang memilih kelas bukan unggulan
atau kelas terburuk kualitasnya demi mengejar rangking kelas. Bila ini terjadi
besar kemungkinan akan terjadi konflik kepentingan antar guru untuk menggolkan
calon masing-masing, atau calon titipan dari pihak tertentu. Rambu-rambu yang
diberikan berupa sangsi blacklist terhadap sekolah yang melakukan manipulasi
nilai raport dinilai kurang ampuh mengingat luasnya medan yang harus diawasi
dan kurangnya SDM yang mengawasi, di samping parameter untuk menilai terjadi
manipulasi nilai juga tidak ada. Belum lagi faktor ketidakadilan bila
kesalahan guru yang manipulatif harus ditanggung oleh semua murid sekolah yang
terkena blacklist tersebut. Saya melihat kita tidak boleh main-main dengan
masalah ini. Tutup saja peluang untuk manipulasi nilai ini dengan menghilangkan
unsur nilai raport dalam jalur undangan SNMPTN. Jadikan saja nilai UN sebagai
satu-satunya unsur penilaian. Jadikan materi UN sekelas dengan ujian tulis
SNMPTN.
Bila dilihat komposisi
antara jalur SNMPTN 60 % dengan jalur mandiri 40 % di mana jalur mandiri
diserahkan sepenuhnya kepada majelis rektor apakah akan berbentuk ujian tulis
atau undangan. Saya menilai bahwa terlalu rumit membaca gaya bahasa yang
disusun. Kenapa tidak disederhanakan saja bahasanya dengan menyatakan bahwa
jalur masuk PTN dibagi dua yaitu jalur undangan 60 % (dengan basis nilai
UN sekualitas SNMPTN) dan jalur ujian tertulis 40 %. Begini kan lebih mudah
dicerna dan lebih praktis dan tidak banyak memakan memori. Kemendiknas jangan
menganggap permainan bahasa ini sebagai sesuatu yang sepele, apalagi untuk
sekolah di pedalaman, mereka akan bingung sendiri dengan gaya bahasa yang
disampaikan sebelumnya.
Jalur undangan ini harus
betul-betul mempertimbangkan keterkaitan antara kualitas sosial murid
dengan jurusan yang akan ditempuh. Memang tidak ada larangan murid perkotaan
memilih undangan jurusan berbasis pedesaan seperti jurusan pertanian,
peternakan, perkebunan, perikanan dan lainnya namun akan lebih baik jurusan
pedesaan diprioritaskan mengundang murid dari pedesaan.
Jalur undangan juga
harus dijadikan instrumen pemerataan pembangunan terutama di bidang pendidikan
dan kesehatan. Daerah yang kekurangan SDM bidang pendidikan dan kesehatan
harus jadi prioritas jalur undangan dengan catatan setelah selesai pendidikan
mereka harus kembali ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmunya. Jalur
undangan harus ditambah persyaratannya menyerupai ikatan dinas kesediaan
kembali ke tempat asal. Bila perlu Kemendiknas bekerjasama dengan Kemendagri
membuka jalur khusus PNS berbasis jalur undangan ini terutama untuk PNS
kependidikan dan kesehatan.
Mungkin masih banyak hal
yang harus dijadikan bahan pemikiran terutama dari aspek sosial mengingat
mungkin pembuat keputusan di Kemendikbud adalah SDM yang berpendidikan tinggi
sehingga kurang memperhitungkan faktor sosial akar rumput yang kerap kali luput
dari pengamatan elit. Ada baiknya kebijakan ini diuji publik selama minimal 2
bulan untuk menampung aspirasi masyarakat pemerhati pendidikan.
Bagaimanapun juga PTN
merupakan aset termahal yang dimiliki bangsa ini.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
13 maret 2012.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar