Alkisah, konon kabarnya, pada
masa penjajahan Belanda, ada sebuah daerah yang secara turun temurun dipimpin
oleh seorang kepala suku yang dibekali dengan kemampuan ruhani dan mistisme
yang membuatnya sangat kharismatik. Daerah itu adalah penghasil rempah – rempah
dan sudah lama menjadi incaran kumpeni Belanda. Dengan taktik bisnis dan
politiknya secara perlahan tapi pasti kumpeni Belanda berhasil menguasai
kehidupan ekonomi daerah tersebut.
Hal ini jelas mengusik ketenangan
kehidupan sosial warga. Mulailah muncul semangat heroisme untuk mengusir
kumpeni Belanda. Pembicaraan sudah
mulai mengarah ke peperangan. Dan akhirnya dilakukan rapat massa dan
menghadirkan kepala suku. Semua warga menyampaikan pendapatnya yang bermuara
pada kesediaan berperang melawan kumpeni Belanda.
Tapi apa sikap kepala suku ?
Sang kepala suku justru memerintahkan bercocok tanam dengan target panen
berlipat ganda dengan alasan peperangan akan memakan waktu bertahun – tahun dan
itu membutuhkan logistik sembako yang banyak.
Kekuatan kharismatiknya membuat rakyat tak berdaya dan mengikuti
perintahnya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan,
tahun berganti tahun. Panen terus menerus embuat denyut ekonomi warga semakin
memperkuat dasar dalam menghadapi serangan ekonomi kumpeni Belanda. Sementara
sang kepala suku terus menjalin hubungan dagang dengan pedagang selain Belanda.
Maka dengan taktik swasembada pangan dan diplomasi ekonomi maka kumpeni Belanda
berhasil mereka usir tanpa sebilah golok pun. Dan yang tak kalah pentingnya
adalah senjata kharismatik yang dimilikinya merupakan modal utama mengarahkan
energi rakyat.
Apa hubungannya dengan radikalisme keagamaan yang beberapa hari belakangan
ini mengoyak bumi nusantara ?
Radikalisme keagamaan adalah energi yang tersimpan dalam diri seseorang
yang dipicu secara bersama – sama oleh kekuatan kharismatik yang melekat pada
orang – orang tertentu dengan legitimasi ayat suci yang merupakan perintah
Ilahi. Energi tersimpan ini bisa dibangkitkan untuk apa saja, bukan hanya
berupa radikalisme keagamaan.
Saya sering terkesima dengan kekuatan kharismatik yang berhasil
menggerakkan energi tersimpan dalam diri ke arah radikalisme yang bergerak
mengesampingkan segala hal termasuk mengesampingkan sifat – sifat kemanusiaan
yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Dan keterkesimaan ini berujung pada
angan – angan seandainya kekuatan kharismatik tersebut bisa mentransformasikan
radikalisme keagamaan kepada RADIKALISME SWASEMBADA PANGAN.
Kenapa harus swasembada pangan ?
”Tongkat batu jadi tanaman. Bahkan rumput bisa tumbuh di atas batu dan
pasir. Alangkah zalimnya kita sebagai umat apabila harus mengimpor bahan
pangan. Kezaliman ini harus dihentikan. Mari kita bergerak menuju swasembada
pangan” : kira – kira demikianlah orasi dan fatwa kekuatan khairsmatik yang pro
pada gerakan radikalisme swasembada pangan. Bila perlu dilantunkan ayat suci
yang memerintahkan bercocok tanam dalam memakmurkan bumi.
Mungkinkah ?
Salam reformasi.
Rahmad Daulay
14 februari 2011.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar