(tulisan ini didedikasikan kepada rakyat yang berjuang menyekolahkan anak – anaknya di perguruan tinggi di manapun berada).
Pendidikan tinggi sekarang bukan sesuatu yang asing lagi. Pendidikan tinggi sudah akrab dengan kehidupan sehari – hari masyarakat. Hampir dipastikan semua pelajar tamatan sekolah menengah ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, walaupun begitu, cara memperoleh pendidikan tinggi tersebut masih cukup mahal bagi masyarakat menengah ke bawah yang merupakan mayoritas dari seluruh rakyat Indonesia, dan merupakan mayoritas pemilih pada Pemilu dan Pilkada. Berikut ini beberapa cuplikan perjuangan hidup masyarakat dalam menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.
…..
“Pasang nomor 4567” demikian kata seorang tukang bangunan. Kala itu togel masih berkeliaran. Dia berharap kalau nomornya gol, akan bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi.
…..
“Brrraaaaaakkkk” demikian bunyi meja yang dipukul Pimpinan, karena Pak A menyelewengkan uang. Pak A adalah seorang PNS yang mengawali karirnya mulai dari pegawai negeri golongan I A dan bekerja sebagai sopir alat berat. Sekarang umurnya sudah 50-an dan atas berkah reformasi dia bisa mendapatkan golongan III A dan sekarang menjadi Pimpro. Namun, karena keterbatasan gaji maka dia tunggang langgang mencari uang karena 3 orang anaknya sedang kuliah di perguruan tinggi di perantauan. Salah satu jalan praktis mencari uang baginya adalah menilap “bagian” pimpinannya.
…..
“Saya korting pak harga buahnya, dijamin manis” kata seorang penjual buah yang berjuang merayu pembeli. Di benaknya berharap agar dagangannya laku sehingga anaknya bisa menikmati perguruan tinggi.
…..
Dan masih banyak lagi kisah – kisah di masyarakat yang berkitan dengan perjuangan memenuhi biaya pendidikan tinggi anaknya.
Bila kita kalkulasikan, dari 100 % tamatan SMU dan sederajatnya, berapakah yang bisa menikmati pendidikan tinggi negeri yang termasuk kategori murah ? Tidak akan sampai 20 %. Sisanya merasakan pendidikan tinggi yang mahal di perguruan tinggi swasta.
Apakah fakta di atas benar ? Tidak. Fakta di atas sebenarnya menyesatkan. Bila dibandingkan penyebab mahalnya pendidikan tinggi bukanlah pada biaya pendidikannya itu sendiri. Tapi berada pada biaya hidup sebagai perantauan, karena perguruan tinggi negeri dan swasta yang berkualitas selalu berada di ibu kota propinsi sehingga bagi yang berasal dari kabupaten harus merantau hidup sebagai anak kos. Belum lagi apabila dari luar Jawa ingin kuliah di pulau Jawa, biaya hidupnya semakin mahal. Sebagai perbandingan, pengalaman pribadi saya, kuliah di ITS Surabaya mulai tahun 1993, biaya kuliah SPP hanya Rp. 180.000 persemester ditambah biaya pembelian buku/diktat. Sementara kiriman bulanan untuk biaya hidup kala itu untuk saya sudah Rp. 250.000 dengan kualitas hidup pas-pasan. Sekarang entah bagaimana perbandingannya. Sehingga, apabila seseorang tinggal di tempat perguruan tinggi negeri berdomisili maka biaya pendidikan tingginya hanyalah SPP dan pembelian buku/diktat. Apalagi bila pendidikan tingginya bukan teknik dan bukan kedokteran, maka biaya kuliahnya tidak akan dibebani yang namanya biaya praktek.
Dari kenyataan di atas, saya berani mengambil kesimpulan bahwa pendidikan tinggi bisa disiasati sehingga bisa menjadi murah dan terjangkau oleh para masyarakat menengah ke bawah. Caranya adalah sebagai berikut :
1. Beri kemudahan bagi Pemerintah Kabupaten/ Kota untuk mendirikan Perguruan Tinggi Negeri di daerahnya. Dengan catatan bahwa PTN tersebut untuk Pemerintah Kabupaten cukup untuk fakultas dan jurusan non teknik dan non kedokteran. Sementara untuk Pemerintah Kota boleh mendirikan PTN dengan fakultas dan jurusan Teknik dan kedokteran. Kemudahan ini dengan catatan tetap menjaga kualitas tenaga pengajar/dosen. Mengenai ruang perkuliahan sementara bisa dipakai fasilitas gedung sekolah SMA pada sore dan malam hari dan hari sabtu minggu, karena rata – rata pembelajaran sekolah menengah hanya pada pagi hingga siang hari. Tenaga dosen bisa dari intern PNS yang sudah ada atau melakukan rekrutmen tenaga dosen baru. Dengan UU Pendidikan yang baru yang mewajibkan APBN/APBD minimal 20 % untuk bidang pendidikan saya rasa ini bukan sesuatu yang mustahil untuk diterapkan. Dengan penerapan seperti ini maka masyarakat tidak perlu pergi merantau ke ibu kota propinsi untuk menikmati
pendidikan tinggi yang layak untuk masa depannya. Status PTN masih memiliki image yang idektik dengan kualitas, walaupun ini masih perlu diperdebatkan. Untuk zaman sekarang ini, saya perkirakan, biaya kiriman uang untuk seorang mahasiswa di perantauan perbulannya minimal Rp. 750.000. bila 30 % saja tamatan SMA tiap tahun pergi merantau dengan biaya berbulan seperti itu, berapa biaya yang harus disediakan oleh masyarakat menengah ke bawah ?
2. Sebagai jaminan kualitas atas PTN Kabupaten/Kota tersebut
maka PTN senior yang berada di ibu kota propinsi harus menjadi Bapak Asuh. Ini
penting untuk mendorong percepatan akreditasi bagi PTN Kabupaten/Kota tersebut.
Untuk membantu percepatan pemenuhan kualitas PTN Kabupaten/Kota tersebut, untuk tahap awal, beberapa dosen dari PTN senior didrop untuk 5 tahun pertama untuk merintis pendirian PTN Kabupaten/Kota tersebut. Secara perlahan keberadaan dosen PTN senior tersebut akan ditarik sejalan dengan percepatan pemenuhan kulitas tersebut.
Bagi PTN Pemerintah Kota yang memiliki fakultas dan jurusan teknik dan kedokteran, untuk tahap awal bisa memakai fasilitas laboratorium dan peralatan praktek dari PTN senior yang berada di ibu kota propinsi.
Dengan demikian, pendidikan tinggi yang selama ini dianggap mahal bisa dijadikan murah dengan cara seperti saya uraikan di atas. SDM tenaga pengajarnya sudah ada, walaupun belum ada, tinggal melakukan perekrutan. Kurikulum sudah ada. Gajinya ada, tinggal mengalokasikan dari Dana Alokasi Umum APBD Kabupaten/Kota. Fasilitas gedungnya sudah ada, tinggal minjam gedung sekolah SMU pada sore dan malam serta hari sabtu minggu. Apalagi kurangnya ?
Semoga tujuan kemerdekaan RI seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa bisa dicapai.
Salam Reformasi.
Untuk membantu percepatan pemenuhan kualitas PTN Kabupaten/Kota tersebut, untuk tahap awal, beberapa dosen dari PTN senior didrop untuk 5 tahun pertama untuk merintis pendirian PTN Kabupaten/Kota tersebut. Secara perlahan keberadaan dosen PTN senior tersebut akan ditarik sejalan dengan percepatan pemenuhan kulitas tersebut.
Bagi PTN Pemerintah Kota yang memiliki fakultas dan jurusan teknik dan kedokteran, untuk tahap awal bisa memakai fasilitas laboratorium dan peralatan praktek dari PTN senior yang berada di ibu kota propinsi.
Dengan demikian, pendidikan tinggi yang selama ini dianggap mahal bisa dijadikan murah dengan cara seperti saya uraikan di atas. SDM tenaga pengajarnya sudah ada, walaupun belum ada, tinggal melakukan perekrutan. Kurikulum sudah ada. Gajinya ada, tinggal mengalokasikan dari Dana Alokasi Umum APBD Kabupaten/Kota. Fasilitas gedungnya sudah ada, tinggal minjam gedung sekolah SMU pada sore dan malam serta hari sabtu minggu. Apalagi kurangnya ?
Semoga tujuan kemerdekaan RI seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa bisa dicapai.
Salam Reformasi.
Rahmad Daulay
16 Oktober 2006
*****
16 Oktober 2006
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar