PEMEKARAN PROPINSI
SUMATRA UTARA MENJADI 2 PROPINSI, 1 KOTA MEGAPOLITAN DAN 1 KOTA OTORITA WISATA.
Beberapa bulan terakhir
ini energi pikiran kita tersedot oleh opini pemekaran Propinsi Tapanuli.
Berbagai motif di kedua belah pihak selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang
menjadi korban selalu rakyat kecil. Dan bila ini terus dilanjutkan maka besar
kemungkinan akan memicu konflik horizontal. Kita perlu memikirkan cara lain
namun memiliki tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan masyarakat.
Bila kita nilai secara
objektif, pertumbuhan ekonomi antara Medan dan daerah lain ataupun antara
wilayah barat dan wilayah timur, terasa sekali ketimpangan itu. Penyebabnya
bisa secara geografis tradisional maupun struktural. Dan ini bukan hanya akan menyebabkan
munculnya tuntutan pemekaran daerah, tapi bisa mempertipis rasa kebersamaan
kita sebagai sebuah bangsa.
Bila kita nilai Medan
sebagai ibukota propinsi, secara sosial ekonomi maupun tingkat urbanisasi yang
tinggi yang akan disertai oleh tingginya tingkat kriminalitas maupun beban
biaya hidup, maka sudah saatnya kita mengkaji ulang apakah masih layak kota
Medan menjadi ibukota pemerintahan propinsi Sumut yang berfungsi sebagai
pelayan publik. Medan sekarang lebih didominasi oleh geliat kehidupan bisnis
ekonomi. Dan itu tidak akan bisa kita ubah dan balik, kita tidak bisa membalik
arah jarum jam. Sudah saatnya kita berpikir untuk menjadikan dan mempersiapkan
sebuah KOTA MEGAPOLITAN yang terdiri dari Medan ,Binjai, Langkat dan Deli
Serdang. Dengan demikian maka Medan sudah harus terbebas dari beban sebagai
ibukota propinsi Sumatra Utara. Kota Megapolitan Medan Raya ( Medan , Binjai,
Langkat dan Deli Serdang) akan bergerak sebagai sebuah perahu ekonomi bisnis
sebagaimana halnya Singapura ataupun Hongkong.
Ke mana pindahnya
ibukota propinsi ? Bila kita pindahkan ibukota propinsi ke selatan ataupun
tetap di utara maka untuk mencapai ibukota tersebut dari batas wilayah
terjauhnya tetap akan makan waktu minimal 10 jam, dan ini tidak efektif dan
ekonomis dalam menjalankan fungsi ibukota propinsi sebagai pelayan publik. Bila
kita tempatkan ibukota propinsi persis di tengah – tengah maka dari segi jarak
tempuh dari wilayah terluarnya sudah kompetitif karena hanya akan makan waktu
minimal 5 jam. Juga secara sosial kemasyarakatan akan menjadi masalah karena
bila ibukota tersebut lebih dominan ke utara atau ke selatan maka pihak yang
satu lagi akan merasa tidak nyaman dan ini tidak baik untuk kesehatan sosial
kemasyarakatan kita sebagai sebuah bangsa. Bila kita tempatkan ke wilayah timur
maka akan memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Bila kita tempatkan ke
wilayah barat maka mayoritas SDM pemerintahan propinsi akan tidak bersedia
ditempatkan di daerah barat dan ini juga tidak baik untuk kesehatan kita sebagai
sebuah bangsa. Maka sebaiknya kita ciptakan saja dua ibukota propinsi, dengan
kata lain kita ciptakan dua propinsi yaitu Sumatra Tengah yang beribukota di
Padangsidempuan dan Sumatra Utara (induk ) beribukota di Pematang Siantar atau
di Tarutung atau di Balige. Dan Parapat sebagai kota wisata dijadikan sebagai
Kota Otorita Parapat dengan wilayah meliputi seluruh pesisir danau toba dan
membangun jalan keliling mengelilingi danau toba.
Dengan terbaginya
Sumatra Utara lama menjadi 2 propinsi baru dan 2 kota khusus maka harapan akan
percepatan pembangunan untuk wilayah barat akan semakin terbuka karena dengan
memiliki dua ibukota baru maka kemungkinan besar otomatis akan memiliki
pelabuhan udara baru sebagai ujung tombak komunikasi bisnis dan perguruan tinggi
negeri baru sebagai kawah candradimuka kaum intelektual. Dengan lahirnya
pemekaran propinsi yang baru maka multiple efek yang selalu menyertai akan
muncul. Urbanisasi baru akan muncul, baik secara positif maupun negatif.
Tinggal kita kita yang akan menentukan apakah akan dominan di positif atau di
negatif, itupun kalau kita mau berbuat.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
3 Juli 2007
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar