Konon
kabarnya, sebagai sebuah ritual kenegaraan, pemerintah daerah melaksanakan
musyawarah perencanaan pembangunan daerah yang dihadiri oleh perwakilan desa,
kelurahan, kecamatan dan unsur dinas teknis. Muncullah banyak usulan rencana
pembangunan yang biasanya didominasi oleh pembangunan jalan atau rehab jalan.
Hasil musyawarah tersebut dibawa ke forum musyawarah perencanaan pembangunan
kabupaten. dengan beberapa tahapan maka jadilah APBD (anggaran perencanaan dan
belanja daerah) pada pemda dan sebagian diusulkan di APBN 9anggaran pendapatan
dan belanja negara) pada pemerintah pusat..
Proyek
infrastruktur pada APBD oleh pemda melalui dinas teknis melaksanakan tender
untuk menentukan siapa perusahaan yang akan melaksanakan pembangunan proyek
infrastruktur seperti pembangunan jalan. Singkat cerita maka pemenang tender
melaksanakan pembangunan jalan dan setelah selesai dilaksanakan pembayaran dan
jalan tersebut digunakan sebagai urat nadi perekonomian daerah.
Apa
daya, jalan yang dirancang hanya untuk dilalui dengan tonase terbatas, namanya
juga jalan kabupaten, secara diam-diam terutama tengah malam, dilalui oleh truk
bertonase kelas berat yang pada umumnya mengangkut barang antar propinsi
seperti barang hasil perkebunan. Maka rusaklah jalan yang baru dibangun
tersebut.
Elemen
masayarakat marah, tapi bukan marah kepada truk bertonase berat tersebut.
Mereka marah kepada kepala daerah dan kepala dinas yang dituduh telah korupsi
anggaran pembangunan negara. Maka penegak hukumpun bergerak mengumpulkan
bukti-bukti. nasib tak dapat ditolak, jalan rusak sebagai bukti nyata. Proses
peradilanpun berlangsung dan sang pejabat tidak dapat tidak dapat membela diri.
Kalau
dipikir-pikir, transportasi darat sebagai sarana pengangkutan bertonase kelas
berat, di samping merusak jalan raya, juga merusak hidup para pejabat yang
dalam era otonomi ini sedang dalam posisi menyedihkan. Berapa kerugian negara
akibat pengelolaan negara salah kaprah ini ? Dan perusahaan jasa pengangkutan
barang juga tidak kalah meruginya karena jalanan yang rusak juga menambah biaya
operasional truk pengangkut barang karena harus berjalan lambat di atas jalanan
rusak. Belum lagi komponen truk menjadi cepat rusak.
Lantas
apa yang harus dilakukan ?
Negara
ini mengaku sebagai negara maritim, tapi potensi maritim t ak pernah
dikembangkan. Kita hanya bisa marah ketika nelayan asing mencuri ikan di
perairan kita atau ketika malaysia diduga menggeser tapal batas perairan sesuka
hatinya.
Kenapa
kita tidak mengembangkan potensi maritim sebagai sarana pengangkutan barang
tonase kelas berat melalui pelabuhan kecil dan menengah ? Negara ini jangan
hanya sibuk mengurusi konflik politik tak berkesudahan atau kasus korupsi yang
tiada habisnya tapi lupa mengembangkan potensi dirinya.
Bangun
sebanyak-banyaknya pelabuhan laut kelas kecil menengah, kembangkan transportasi
laut, kembangkan potensi atas laut dan bawah laut. Jales veva jaya mahe, di
laut kita jaya.
salam
reformasi
Rahmad
Daulay
19
Juni 2012
·
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar