Ujian Nasinal / UN ternyata masih menarik untuk
diperbincangkan, terutama setelah Depdiknas merencanakan akan mengintegrasikan
UN dengan Seleksi Nasional Masuk PTN / SNMPTN. Tapi, perlukah keduanya
diintegrasikan ?
Bila dilihat dari sifat keduanya,
ada satu perbedaan yang sangat sulit untuk disatukan antara UN dan SNMPTN,
yaitu sifat fleksibilitas dalam memandang keberagaman kondisi pendidikan dasar
dan menengah di mana terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara pendidikan di
perkotaan dan pedesaan terutama dalam hal fasilitas, kualitas guru, motivasi
belajar, tingkat kompetisi dan faktor lingkungan. Keberagaman kondisi
pendidikan ini menghasilkan variasi kualitas hasil pendidikan itu sendiri.
Dengan kondisi yang seperti ini para pelajar dihadapkan pada UN dan SNMPTN.
Bagaimana anatomi UN ? Entahlah,
yang kutahu belakangan ini banyak yang mempermasalahkan. Zaman saya dulu
namanya masih Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional) yang hasilnya
disebut NEM (Nilai Ebtanas Murni). Ebtanas mengakomodir variasi dan keberagaman
kondisi pendidikan antar daerah, dengan kata lain ebtanas di setiap wilayah
tidak sama tingkat kesulitan ujiannya. Dan ebtanas pada waktu itu bukan
merupakan faktor penentu kelulusan. Dan pada masa itu ebtanas layak
dipandang sebagai cerminan kualitas dari hasil pendidikan itu sendiri.
Bagaimana dengan SNMPTN ? PTN dalam
menyeleksi calon mahasiswanya lebih mengedepankan kualitas dan cenderung
mengesampingkan perbedaan kondisi pendidikan antar daerah. Melalui SNMPTN yang
soal dan tingkat kesulitannya yang seragam seIndonesia menyebabkan pada umumnya
pelajar perkotaan lebih mendominasi kelulusan ujian SNMPTN.
Sementara untuk mengakomodir
kewilayahan maka PTN membuat program bebas testing / penyaluran minat, bakat
dan kemampuan (PMDK) yang sekarang entah apa namanya. PMDK ini untuk
mengakomodir para pelajar berprestasi dari daerah.
Sekarang
bagaimana ? Integrasi UN dengan SNMPTN akan dibawa kemana ? Apakah SNMPTN
dilebur ke dalam UN sehingga akan mengakomodir keberagaman kondisi pendidikan
antar daerah ataukah UN dilebur ke dalam SNMPTN sehingga akan lebih
mengedepankan kualitas dan kompetisi secara nasional ?
Bila SNMPTN
dilebur ke dalam UN maka kompetisi kualitas akan terkorbankan tapi lebih
mengIndonesia. Bila UN dilebur ke dalam SNMPTN maka kualitas akan mengedepan
tapi mengorbankan kebersamaan keIndonesiaan dalam menikmati pendidikan yang
murah dan berkualitas.
Lalu bagaimana
?
Menurut saya
biarkan saja UN dan SNMPTN masing – masing tetap berdiri sendiri dan tak perlu
diintegrasikan. Yang penting adalah bagaimana meningkatkan kualitas keduanya.
Dan UN perlu dikembalikan kepada pola ebtanas zaman dulu.
Yang perlu
diperhatikan adalah bahwa PTN merupakan salah satu perwujudan dari proses
pencerdasan kehidupan bangsa. Dan PTN dibiayai dari uang rakyat, termasuk
rakyat pedesaan. Akan tidak adil bila kesempatan untuk menikmati PTN
dikompetisikan secara nasional tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi
kewilayahan yang majemuk dan kompleks. Perlu ditata kembali komposisi mahasiswa
yang berasal dari seleksi SNMPTN dan mahasiswa yang berasal dari PMDK. Fakultas
dan jurusan yang berbasis pedesaan atau dengan kata lain penerapannya lebih
dominan di pedesaan sebaiknya lebih banyak mengakomodir mahasiswa melalui
prosedur PMDK. Pada zaman saya UMPTN tahun 1993 IPB Bogor menurut informasi
yang saya dengar mereka memberi kesempatan 75 % daya tampungnya kepada
mahasiswa jalur PMDK dan hanya 25 % melalui jalur UMPTN. Sehingga IPB Bogor
dikenal sebagai kampus yang paling ”Indonesia”. Saya menilai bahwa jalur PMDK
ini adalah salah satu instrumen paling kuat untuk percepatan pembangunan
pedesaan. Tentunya dengan beberapa penyempurnaan sistem dan prosedur seleksi
PMDK maka PMDK akan bisa menjawab bagaimana seharusnya strategi program untuk
memaksa para sarjana yang berkualitas untuk menerapkan ilmunya di pedesaan.
Daripada
mengintegrasikan UN dengan SNMPTN maka menurut saya lebih baik mengintegrasikan
rekrutmen PNS daerah dengan PMDK. Akan lebih baik apabila salah satu
persyaratan untuk menikmati jalur PMDK adalah ikatan dinas PNS daerah dan
bekerja di daerah berdasarkan latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya.
Bagaimannapun juga bila dibiarkan lewat mekanisme pasar yang alami maka kecil
kemungkinannya para sarjana berkualitas yang selama ini berjuang secara pribadi
menempuh pendidikannya akan secara sukarela mau bekerja di pedesaan tanpa pengkondisian
dan persyaratan serta fasilitas bersyarat dan mengikat.
Dan satu lagi
yang perlu diintegrasikan adalah UN untuk SMK teknik dengan ujian sertifikasi
keterampilan kerja konstruksi di mana diharapkan lulusan SMK teknik dibekali
dengan sertifikat keterampilan kerja konstruksi (SKT) dan bisa berkiprah dalam
bidang jasa konstruksi sebagai tenaga trampil.
Barometer
keberhasilan mencerdaskan kehidupan bangsa bukan pada prestasi pelajar
perkotaan tapi pada prestasi pelajar pedesaan.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
9 Februari 2010
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar