Sudah bukan rahasia lagi bahwa
politik daerah merupakan beban tersendiri dalam geliat kehidupan reformasi di
tingkat daerah. Politik daerah telah menyedot banyak energi, sumber daya ekonomi
dan keuangan serta kestabilan / kesinambungan pembangunan daerah. Kenapa biaya
politik daerah begitu mahal ?
Dalam teori ekonomi paling
sederhana menyebutkan bahwa apabila ketersediaan jauh lebih sedikit daripada
penawaran maka harga akan naik melambung tinggi..
Politik daerah terutama pilkada
hanya memberikan kesempatan kepada calon kepala daerah dengan dukungan suara
minimal 15 % suara atau dengan kata lain calon kepala daerah hanya akan
berjumlah maksimal 6 calon. Dan yang berminat menjadi kepala daerah jumlahnya
sangat banyak. Pada tahap pencalonan saja sudah berstatus “sangat mahal”. Ini
dibuktikan dengan kenyataan bahwa ketua umum parpol daerah jarang yang
mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah dan hanya bersedia menjadi calon
wakil kepala daerah, tentu ada sesuatu di balik ini semua. Walaupun bukti
materil tidak bisa dihadirkan namun isu yang beredar menyebutkan bahwa biaya
untuk meraih kursi kepala daerah bisa mencapai minimal belasan milyar.
Bayangkan apabila biaya sebesar itu dipergunakan untuk membangun industri
perdesaan, sudah berapa banyak sektor ketenagakerjaan yang bisa dihidupkan.
Mahalnya biaya politik daerah
hanya akan membuat para calon kepala daerah yang tidak punya modal yang
mencukupi tidak bisa ikut bertanding di forum pilkada. Jangankan untuk
bertanding, untuk menjadi peserta resmi saja sudah tidak memungkinkan. Dan ini
akan membuat kehidupan otonomi daerah hanya berkutat pada politik saja dan
pembangunan serta ekonomi hanya akan menjadi subordinasi saja. Dan tidak jarang
terjadi pembangunan dan ekonomi malah sangat tergantung pada dukungan politik. Belum
lagi energi yang akan habis tersedot untuk “pengembalian modal” sudah merupakan
keharusan yang wajib dijalani.
Untuk itu perlu kiranya biaya
politik daerah dipermurah agar para calon kepala daerah yang memiliki modal pas
– pasan tapi berkualitas bisa ikut bertanding di pentas pilkada. Caranya dengan
tetap memakai prinsip ekonomi sederhana di atas, yaitu memperbesar jumlah ketersediaan
sehingga harga bisa diturunkan. Dengan kata lain, jumlah persentase dukungan
suara partai untuk mencalonkan calon kepala daerah harus diturunkan. Saya
pribadi melihat bahwa angka dukungan 5 % suara masih cukup layak untuk bisa
sebagai syarat pencalonan seorang calon kepala daerah. Dengan demikian dari
jalur parpol akan muncul maksimal 20 calon kepala daerah. Dan dari calon independen
/ perseorangan (bila syarat dukungan dibuat sama yaitu 5 %) juga akan
menghadirkan maksimal 20 calon kepala daerah. Sehingga dengan demikian maksimal
jumlah 40 calon kepala daerah akan memakan biaya politik pencalonan yang lebih
murah dari sebelumnya dan menjanjikan keterwakilan yang lebih serta peluang
untuk mereka yang bermodal pas – pasan tapi punya kualitas.
Bagaimana dengan legitimasi dukungan
legislatif atas sang kepala daerah yang terpilih hanya dengan dukungan suara
yang terdistribusi kepada 40 calon tadi ?
Untuk kondisi sekarang,
legitimasi dukungan dengan parameter jumlah suara bukan prioritas utama.
Prioritas kita adalah bagaimana mempermurah biaya politik pilkada, mendorong
SDM terbaik untuk bisa ikut pilkada dan menyeimbangkan dominasi kehidupan
politik dan pembangunan serta ekonomi daerah.
Salam reformasi
Rahmad Daulay
31 desember 2007
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar